Who am I

Who am I

Jumat, 02 Mei 2008

Tahun yang Tak Pernah Berakhir

Kompas Sabtu, 24 Juli 2004


Sejarah dan Emansipasi Politik

Budiawan

Judul Buku: Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65 - Esai-esai Sejarah LisanEditor: John Roosa, Ayu Ratih dan Hilmar FaridPenerbit: Jakarta: Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan & Institut Sejarah Sosial Indonesia, 2004Tebal: xii + 253 halaman
***
Setiap rezim otoriter/totaliter senantiasa memandang memori sebagai ancaman serius. Sebab, memori yang diartikulasikan secara publik bisa membuat segala bentuk kekerasan politik yang dilakukan rezim itu menjadi tampak telanjang. Itulah sebabnya rezim yang demikian senantiasa berusaha membungkam atau memutarbalikkan memori tentang kejahatan atas kemanusiaan. Dengan teknik pengendalian ingatan semacam ini, penguasa melakukan normalisasi kebohongan, yang dilakukan sedemikian rupa sehingga kebohongan itu diterima sebagai "kebenaran".
KETIKA rezim otoriter/totaliter itu jatuh atau tersingkir dan terbuka kesempatan bagi para korban kekerasan politik untuk memecahkan kebungkaman mereka, "kebenaran" itu pun goyah. Gambaran tentang masa lalu yang sudah pasti dan akrab dalam ingatan sosial tiba-tiba hadir secara lain. Meminjam istilah sejarawan David Lowenthal, tuturan ingatan para korban membuat masa lalu menjadi sebuah "negeri asing".
Biografi kolektif korban tragedi 1965
Buku ini merupakan laporan perjalanan dari dan sekaligus undangan untuk bermigrasi ke "negeri asing". "Negeri asing" tersebut adalah narasi sejarah tragedi 1965 yang dituturkan para korban, yang selama lebih dari tiga dasawarsa dibungkam oleh rezim Orde Baru (Orba).
Sebagaimana diketahui, di bawah kekuasaan Orba tragedi 1965 telah dikonstruksikan sebagai "pemberontakan PKI", yang secara intensif ditanamkan ke dalam ingatan sosial masyarakat Indonesia. Konstruksi tentang "kejahatan-kejahatan PKI" terus-menerus diulang- ulang dalam wacana publik. Narasi ini berpuncak pada apa yang disebut G30S PKI, di mana penculikan dan pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat (AD) dikatakan "didalangi PKI".
Ingatan sosial (di)berhenti(kan) pada apa yang terjadi tanggal 30 September 1965 dan bungkam terhadap pembantaian massal serta penahanan tanpa proses pengadilan terhadap ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang yang dituduh komunis. Apa yang terjadi pada masa-masa sesudah 30 September 1965 dinarasikan sebagai perjuangan militer-dengan Soeharto sebagai figur sentralnya-bersama "kekuatan-kekuatan sosial yang loyal kepada Pancasila" untuk bangkit "menumpas pemberontakan G30S PKI" guna "menyelamatkan ideologi Pancasila" sehingga muncullah mitos "Pancasila sakti", yang tidak lain adalah mitos asal-usul Orba.
Setelah Soeharto-sebagai personifikasi Orba-jatuh pada tahun 1998, memori sosial semacam itu telah banyak digugat. Dalam sekitar lima tahun terakhir ini sudah terbit belasan bahkan mungkin puluhan buku yang menyajikan berbagai versi alternatif penjelasan tentang "peristiwa 30 September 1965", serta penuturan para mantan tahanan politik (tapol) peristiwa 1965 tentang berbagai pengalaman hidup mereka semasa dan sesudah ditahan. Lantas, apa makna kehadiran buku ini jika buku-buku serupa sudah terlebih dahulu terbit? Apakah ini sekadar menambah panjang daftar bacaan yang menggugat wacana sejarah tragedi 1965 versi Orba? Bagaimanakah buku ini sebaiknya dibaca?
Sejarah dan ingatan sosial
Sekurang-kurangnya ada empat hal penting yang bisa ditangkap dari buku ini. Keempat hal ini berkaitan dengan, pertama, makna narasi masa lalu korban bagi wacana yang selama ini dominan; kedua, makna penuturan ingatan buat korban itu sendiri; ketiga, makna representasi tuturan suara korban bagi para penulis esai itu; dan keempat, makna sejarah lisan sebagai salah satu metodologi pembentukan narasi tentang masa lalu.
Pertama, suara-suara para korban yang dihadirkan dalam buku ini bermakna sebagai gugatan terhadap narasi yang dominan tentang masa lalu. Mungkin ini sudah bukan hal baru dan unik. Sebab, gugatan serupa telah muncul ketika sejumlah tokoh mantan tapol peristiwa 1965, seperti (alm) Sulami, Putu Oka Sukanta, Hasan Raid, Achmadi Moestahal, Carmel Budiardjo, Omar Dani, Kol A Latief, Sudjinah, Haryo Sasongko, Hersri Setiawan, dan Pramoedya Ananta Toer, menuliskan pengalaman dan kesaksian masing-masing ke dalam memoar, otobiografi, atau novel. (Bahkan Pramoedya telah menuliskan pengalaman dan kesaksiannya sebagai tapol di Pulau Buru beberapa tahun sebelum Soeharto jatuh. Namun, seperti karya-karyanya yang lain, bukunya itu langsung diberangus oleh rezim Orba).
Meskipun demikian, substansi narasi memori para korban dalam buku ini tetap menarik karena jumlah dan keragaman pengalaman serta kesaksian sejarah yang sangat kaya. Buku ini merupakan hasil wawancara dengan dua ratus enam puluh informan, yang merupakan korban langsung atau tidak langsung dari tragedi 1965. Dengan jumlah informan yang begitu besar dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia (Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi), narasi yang muncul sangat beragam. Keragaman cerita itu kemudian disusun secara tematik dan dituangkan ke dalam enam bab.
Bab pertama, ditulis oleh Rinto Tri Hasworo, menuturkan kembali cerita-cerita tentang penangkapan dan pembunuhan di Jawa Tengah setelah G30S. Dalam penuturan kembali tema ini, peran Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) sebagai pemicu dan provokator mendapat sorotan tajam. Di sini dituturkan bahwa dalam dua minggu setelah peristiwa 30 September, keadaan di Jawa Tengah tetap tenang meskipun tegang. Para pendukung PKI tampak bingung. Mereka tidak yakin dengan berita yang menyatakan bahwa penculikan dan pembunuhan tujuh perwira AD itu didalangi PKI. Mereka bertanya-tanya dan saling bertanya. Di pihak lain, para pendukung partai-partai lawan PKI mulai curiga kepada para pendukung PKI. Namun, mereka tidak cukup berani untuk menyerang karena pendukung PKI jauh lebih besar. Lagi pula para pendukung PKI tidak melakukan move apa pun sehingga tidak cukup alasan untuk menyerang mereka.
Suasana tenang tetapi tegang itu mulai memanas ketika pada pertengahan Oktober 1965, RPKAD di bawah komando Kolonel Sarwo Edhie Wibowo mulai melakukan provokasi dan mobilisasi massa. RPKAD menyiapkan milisi-milisi sipil untuk memburu, menangkap, dan (jika perlu) membunuh mereka yang dicurigai sebagai pendukung PKI. Alasan penangkapan seseorang sering sangat tidak masuk akal. Misalnya, seperti yang dialami Wakijan dari Purworejo. Ia ditangkap karena di samping rumahnya ada lubang. Ia dituduh menggali lubang tersebut untuk mengubur para jenderal, layaknya lubang bekas sumur tempat tujuh perwira AD dikuburkan di Lubang Buaya. Padahal, lubang itu cuma sumur untuk mengambil air (hal 43).
Bab kedua, ditulis oleh Yayan Wiludiharto, menuturkan kembali pengalaman sejumlah keluarga korban dalam berjuang untuk bertahan hidup dan mempertahankan harkat kemanusiaan mereka sembari terus mencari dan menanti anggota keluarga yang hilang entah karena ditahan (dan tidak diketahui di mana tempat penahanannya) atau mungkin telah dibunuh (dan tidak diketahui di mana mayatnya). Di sini dikisahkan bagaimana keluarga korban bukan hanya harus berjuang sendirian, tetapi juga menghadapi berbagai bentuk penghinaan dan diskriminasi dalam kehidupan di masyarakat. Misalnya, yang dialami Ibu Menik dari Ambarawa. Dituturkan di sini bagaimana setelah suaminya ditahan, ia dan anak-anaknya sering ditolak dalam pergaulan sosial. Anak- anaknya sering diolok-olok oleh teman-temannya sebagai "anak PKI", sebuah cap yang membuat mereka menjadi serba salah, serba jelek (hal 82).
Bab ketiga, ditulis oleh Josepha Sukartiningsih, menuturkan kembali pengalaman sejumlah mantan tapol perempuan. Selama hidup dalam tahanan, mereka bukan hanya mengalami siksaan fisik dan psikologis, tetapi juga pelecehan seksual dalam berbagai tingkatan. Hal yang terakhir ini tidak lepas dari citra yang dilekatkan pada diri mereka sebagai "perempuan-perempuan Gerwani bejat moral"-sebuah propaganda yang menjadi pemicu histeria massa anti-PKI serta kemudian dibakukan ke dalam wacana resmi dan populer rezim Orba sedemikian rupa sehingga merasuk juga ke dalam benak anak-anak mereka. Akibatnya, setelah keluar dari tahanan, mereka tidak jarang dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang bernada menggugat dari anak-anak mereka sendiri. Sebagaimana dialami Ibu Sunarti, yang tidak tahu harus menjawab bagaimana jika anak-anaknya bertanya kenapa dia "ikut-ikutan terlibat G30S PKI jelek". Pertanyaan ini sekaligus tudingan bahwa dialah penyebab keterlantaran nasib mereka.
Dihadapkan pada gugatan- gugatan seperti itu, Ibu Sunarti, dan juga kebanyakan mantan tapol perempuan lainnya, memilih bersikap diam. Mereka tidak ingin membuat anak-anak mereka kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan kebudayaan Orba (hal 108).
Bab keempat, ditulis oleh Aquino W Hayunta dan John Roosa, menuturkan kembali pengalaman hidup para mantan tapol ketika mereka berada di dalam tahanan. Ada dua hal yang menjadi kunci kenapa mereka tetap bisa bertahan hidup, yakni ketegaran hati dan solidaritas di antara sesama mereka. Dua hal ini menjadi modal menghadapi kenyataan di mana ancaman siksaan fisik dan psikologis bisa datang setiap saat, jatah makanan yang jauh dari mencukupi baik dari segi kuantitas apalagi kualitas, serta kerja paksa yang sering di luar batas kemanusiaan. Ketegaran hati diwujudkan antara lain dalam sikap tidak mau menyerah kepada kehendak interogator ketika mereka mengalami siksaan fisik dalam menghadapi interogasi. Adapun solidaritas antara lain diwujudkan dalam bentuk riungan, yakni pembentukan kelompok-kelompok di mana para tapol yang mendapat makanan kiriman dari keluarga mereka berbagi dengan tapol lain yang tidak memperoleh kiriman. Dengan demikian setiap tapol mendapat sedikit "kompensasi" atas jatah makanan dari penjara yang jauh dari layak dan mencukupi.
Satu hal lain yang menarik dalam bab ini adalah temuan kedua penulis bahwa dalam menuturkan pengalaman- pengalaman hidupnya, terutama penyiksaan-penyiksaan yang dialami di penjara, para mantan tapol tidak jarang menggunakan bentuk subyek orang ketiga tunggal, alih-alih narasi "saya". Seakan-akan bukan mereka yang mengalami penyiksaan itu, tetapi orang lain. Barangkali ini merupakan salah satu cara untuk mentransendensikan ingatan atas pengalaman pahit, tak lain agar tetap waras secara kejiwaan.
Bab kelima, ditulis oleh Razif, menuturkan kembali pengalaman para mantan tapol ketika mereka dikerahkan sebagai tenaga kerja paksa untuk berbagai proyek pembangunan di bawah rezim Soeharto, mirip kerja rodi pada masa kolonial Hindia Belanda dan romusa di zaman penjajahan Jepang. Di sini dilaporkan bahwa banyak proyek pembangunan atau peningkatan berbagai prasarana dan sarana umum, seperti jalan raya, jembatan, dan pelabuhan di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Pulau Buru, dikerjakan dengan menggunakan tenaga kerja paksa para tapol. Begitu pula dengan pembangunan dan perbaikan berbagai sarana ibadah, seperti masjid dan gereja.
Para tapol yang dikerahkan sebagai tenaga kerja paksa itu tidak mendapat upah sama sekali. Bahkan, mereka sering tidak diberi makan yang cukup. Untuk itu mereka harus mencari sendiri atau terkadang meminta kepada atau diberi oleh penduduk sekitar proyek. Namun, yang lebih ironis adalah pada kasus pengerahan tenaga kerja tapol dalam proyek pembangunan Monumen Trisula di Blitar Selatan, Jawa Timur. Sebagaimana diketahui, monumen ini oleh rezim Orba dimaksudkan untuk mengenang keberhasilan militer menumpas "pemberontakan PKI" di daerah itu. Ini berarti para tapol itu dipaksa membuat sesuatu yang mengagungkan pihak yang menindas mereka dan sekaligus memandang mereka sebagai pemberontak.
Selain dipaksa bekerja pada proyek-proyek prasarana umum, tidak sedikit tapol yang dipaksa menjadi pembantu rumah tangga tanpa upah pada keluarga tentara atau polisi yang bertugas menjadi penjaga penjara. Secara fisik mungkin hal ini tidak seeksploitatif dibandingkan dengan mereka yang dikerahkan untuk proyek- proyek prasarana umum. Namun, hal ini jelas satu bentuk penghinaan, bukan sekadar eksploitasi tenaga kerja. Apalagi tidak sedikit tapol yang dipaksa menjadi pembantu rumah tangga itu sebelumnya memiliki profesi-profesi seperti guru, dosen, wartawan, dan seniman.
Bab keenam, ditulis oleh André Liem, menuturkan kembali pengalaman para mantan tapol dan sejumlah penduduk di kawasan Blitar Selatan dalam mempertahankan dan melindungi diri di kawasan yang tandus dan berbukit-bukit itu dari pengejaran dan penangkapan tentara. Sebagaimana dinarasikan dalam versi resmi rezim Orba, Blitar Selatan pada tahun 1968 dikatakan sebagai basis terakhir sisa-sisa G30S PKI untuk melancarkan pemberontakan. Seakan-akan orang- orang PKI yang telah gagal dalam pemberontakan 1965 masih ingin mencoba melakukan pemberontakan lagi di kawasan yang memang sebagian besar penduduknya merupakan anggota atau simpatisan Barisan Tani Indonesia (BTI), salah satu organisasi masyarakat PKI.
Padahal, dalam jalan berpikir para anggota atau simpatisan PKI yang masih selamat dari pembantaian dan penangkapan massal 1965-66, Blitar Selatan dipilih lebih sebagai tempat melindungi diri. Sebab, di tempat lain mereka sudah tidak mendapat perlindungan hukum. Setiap saat mereka bisa ditangkap dan dipenjarakan atau dibunuh tanpa ada yang mampu dan mau membela. Sementara di Blitar Selatan, selain kondisi alamnya yang kondusif untuk bersembunyi, penduduknya, sebagaimana disebutkan di atas, merupakan pendukung BTI.
Akan tetapi, tempat-tempat persembunyian itu akhirnya bisa dihancurkan. Dalam operasi penghancuran itu, militer mengerahkan penduduk sipil, termasuk Ansor dan Sakera, untuk menjadi pagar betis. Pola operasi militer semacam ini kelak dilakukan lagi di Timor Timur saat ABRI hendak menghancurkan kubu-kubu pertahanan Fretilin.
Ingatan sosial dan pemberdayaan
Tampak bahwa buku ini bukan hanya menyajikan narasi- narasi alternatif (bahkan tandingan) yang bisa memperkaya gugatan terhadap sejarah resmi rezim Orba, tetapi juga menghadirkan sisi-sisi personal dalam kisah-kisah penderitaan para korban. Fakta-fakta pelanggaran berat hak-hak asasi manusia tidak disajikan dalam angka-angka statistik, tetapi dituturkan kembali dengan gaya narasi yang (diharapkan) bisa menyentuh ranah afektif pembaca. Harapan selanjutnya adalah muncul dan berkembangnya pengakuan publik (dan resmi) bahwa mereka itu sesungguhnya korban, bukan pelaku (apalagi dalang) tragedi 1965.
Persis pada harapan akan pengakuan publik itulah buku ini menemukan makna keduanya. Dengan menuturkan pengalaman penderitaan kepada orang-orang yang dengan tekun dan sabar mau mendengarkan serta dipercaya tidak akan menyalahgunakan tuturan itu, korban minimal mulai mengurangi beban psikologis masa lalu. Masa lalu sebagai "tahun yang tak pernah berakhir", sebagaimana dipakai sebagai judul utama buku ini, mulai memperlihatkan pertanda untuk beranjak dari masa kini dan kembali pada tempatnya. Proses penempatan masa lalu pada tempatnya (putting the past in its place) ini akan semakin cepat bila muncul pengakuan publik atas status mereka sebagai korban. Dalam konteks inilah penceritaan kebenaran (truth telling), yang merupakan satu bentuk pemberdayaan sosial (social empowerment) bagi mereka yang tertindas dan tak berdaya, tak lain untuk mendapatkan kesempatan diterima kembali sebagai warga masyarakat secara penuh. Penceritaan kebenaran dengan demikian merupakan langkah awal menuju rekonsiliasi, dalam arti hilangnya rasa saling bermusuhan atau curiga sekaligus terbentuknya kembali rasa saling percaya dan hormat.
Sebagaimana telah disebutkan, buku ini bukanlah penuturan langsung para korban, tetapi tuturan korban yang direpresentasikan oleh para pewawancaranya. Para pewawancara itu, selain Razif dan John Roosa, bukan berlatar belakang disiplin ilmu sejarah. Sebelum terlibat dalam proyek penulisan buku ini, pengetahuan mereka (kecuali dua sejarawan tersebut) tentang tragedi 1965 tidak jauh berbeda dari rekan-rekan segenerasinya yang lahir sesudah 1965, yakni pengetahuan yang dibentuk rezim Orba. Itulah sebabnya mereka, yang sebelumnya menjadi relawan dalam pendampingan para korban tragedi Mei 1998, "terang-terangan menentang rezim Soeharto", tetapi "pada saat bersamaan meresapi propaganda rezim mengenai kejadian 1965-1966" (hal 19). Namun, setelah mereka diperkenalkan pada bacaan-bacaan alternatif tentang sejarah tragedi 1965, seperti karya-karya Saskia E Wieringa, Ben Anderson, dan Ruth McVey, mereka mulai kritis terhadap narasi resmi dan populer rezim Orba. Dengan modal inilah mereka mulai mewawancarai para korban dan keluarga korban tragedi 1965.
Dalam wawancara-wawancara itulah mereka semakin masuk ke sebuah "negeri asing", yakni gambaran tentang masa lalu yang ternyata lain sama sekali dari apa yang sebelumnya telah sering mereka dengar. Tuturan korban semakin menyadarkan mereka tentang banyak hal dalam tragedi 1965 yang ternyata selama masa kekuasaan Orba dibungkam atau diputarbalikkan. Oleh karena itu, dalam menuturkan kembali suara korban beberapa di antara mereka mengawalinya dengan sebuah pertobatan. Seperti yang ditulis Rinto Tri Hasworo, sebagaimana dikutip di bawah ini:
Menurut sejarah yang saya pelajari di sekolah, G30S adalah ledakan kekacauan dan subversi yang kemudian berhasil ditangani dengan baik oleh Mayjen Soeharto. Proses penggebukan terhadap G30S digambarkan sebagai tindakan pemulihan keamanan dan ketertiban. …
Selama bertahun-tahun, tidak pernah saya pertanyakan penjelasan sejarah yang mereka sampaikan. Saya juga tidak banyak memikirkan peristiwa 1965-1966 (hal 25).
Pertobatan serupa juga terjadi pada Yayan Wiludiharto,
Aku tak mengira "orang- orang PKI" itu ternyata manusia biasa. Sebelum aku bertemu dan berbicara dengan mereka yang dianggap PKI, aku hanya tahu PKI sama dengan sesuatu yang menyeramkan (hal 61).
Begitu pula dengan Josepha Sukartiningsih:
Saya termasuk salah satu orang yang cukup lama dibayangi ketakutan akan Gerwani. Sosok-sosok perempuan liar yang menari "Genjer-genjer", menari telanjang, lalu dengan kejam menyiksa, menyilet, dan memotong kemaluan para jenderal yang diculik di Lubang Buaya melekat di benak saya, bahkan setelah saya mulai tahu bahwa pemerintah Orde Baru banyak membuat cerita-cerita bohong tentang G30S dan PKI (hal 87).
Dengan pertobatan-pertobatan itulah mereka mulai mematahkan pewarisan ingatan nasional tentang tragedi 1965. Dan inilah makna ketiga di dalam buku ini. Hal serupa diharapkan juga akan terjadi pada siapa pun, terutama generasi yang lahir pasca-1965 yang membaca buku ini.
Makna keempat terkait dengan metodologi penelitian untuk penulisan buku ini, yakni sejarah lisan. Melalui wawancara dengan para korban, peneliti bukan hanya bisa menggali data tentang masa lalu, tetapi juga menyaksikan sendiri bagaimana "arsip hidup" itu menuturkan pengalaman dan kesaksian mereka. Ketidakmampuan mereka bercerita dengan lancar, atau muatan emosional yang sering kental mewarnai penuturan pengalaman mereka, atau penuturan pengalaman dengan menggunakan subyek orang ketiga tunggal, merupakan data tambahan penting bahwa tragedi masa lalu itu masih meninggalkan goresan-goresan mendalam di kalangan para korban. Jadi, yang bisa dituturkan kembali bukan banya kejadian di masa lalu, tetapi sekaligus juga jejak-jejak yang ditinggalkannya. Sejarah dengan demikian menjadi sejarah masa kini (current history).
Selain itu, melalui sejarah lisan, di mana kelompok-kelompok yang selama ini diabaikan bisa menjadi sumber sejarah, sejarah bisa "ditulis dari bawah". Sejarah menjadi lebih demokratis, dalam arti sejarah menjadi sejarah setiap orang (the history of everybody), dan setiap orang berhak menuliskannya.
Penutup
Buku yang merupakan biografi kolektif korban tragedi 1965 ini dimaksudkan sebagai sebuah teks yang emansipatoris. Menurut para sarjana literary theories, teks yang memiliki daya emansipasi yang kuat sangat potensial untuk bermetamorfosis menjadi teks yang otoritatif. Teks yang semula dimaksudkan untuk membebaskan subyek dari cengkeraman teks lama bisa ganti menciptakan cengkeraman baru. Teori ini berangkat dari asumsi dasar bahwa setiap teks pada dasarnya mengandung "kehendak untuk berkuasa".
Kritik itu mungkin benar, tetapi sangat tidak tepat dan bahkan kejam untuk dilontarkan sekarang. Sebab, proses emansipasi itu baru mulai berlangsung, dan tak seorang pun tahu sampai kapan dan bagaimana proses itu akan berlanjut. Masa depan barangkali sama misteriusnya dengan masa lampau. Sebab, manusia memang hanya menghuni masa kini.


Budiawan Mengajar di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Tidak ada komentar: