Who am I

Who am I

Kamis, 15 Mei 2008

Pergulatan Melawan Senyap

Pergulatan Melawan Senyap
(Kontestasi dan Gugatan Politik Ingatan Kekerasan
Pembantaian Massal 1965-1966 di Bali )


“…The case of Bali indicates clearly that the foundations of political community are neither preordained nor immutable, but the outcome of history process and human agency. In other words, the roots of loyality, conflict, and violence in any political community are unlikely to be located in primordial givens or in patterns of “traditional” rivalry, but rather in the dialectical interplay of historical forces.”[1]

“…Keengganan tentu mengacu pada sesuatu. Apakah ini hanya terkait dengan kengerian kejadian—yang dibilas bersih menjadi sekadar angka dan statistik di halaman buku sejarah—atau apakah ini ada kaitannya, sekurangnya pada beberapa titik situasi tertentu, dengan keterlibatan dan tanggung jawab orang itu sendiri dalam sejarah ini?…”[2]


Saya mulai bagian ini dengan berkeluh kesah. Dari sebuah cerita nenek saya tentang Gestok[3] (istilah Seokarno untuk gerakan 1 Oktober) 1965, yang membuat saya penasaran. Di sebuah pertemuan keluarga, nenek bercerita. Kakek, Pekak Wayan, tetangga samping rumah, akan ikut dalam memukur massal (ritual menghantarkan arwah manusia menuju Tuhan). Pekak Wayan adalah salah satu orang yang “mati Gestok” dan tidak ditemukan mayatnya. Sebuah ungkapan yang membuat saya penasaran dan terus bertanya apa itu “mati Gestok”?
Dari cerita-cerita tersembunyi tetangga, saya mengetahui Pekak Wayan adalah anggota BTI (Barisan Tani Indonesia) di desa. Ia adalah petani yang ulet, ramah, dan aktif di kegiatan banjar dan organisasi petani. Selain sebagai kelihan pekaseh subak (ketua sistem irigasi pertanian Bali), ia adalah orang yang dihormati di desa. Teman akrabnya adalah Pekak Kompyang, tokoh kritis di desa anggota Pemuda Rakyat BTI dan Pemuda Rakyat berafiliasi pada satu partai yaitu PKI. Mereka berdua sangat terkenal di desa dan menjadi tokoh kunci dalam setiap gerakan PKI.
Saat hari-hari pembantaian massal 1965-1966 di desa, Pekak Kompyang diculik di rumahnya, dikumpulkan bersama kawan-kawannya yang lain di banjar dan luas ke jawa (istilah untuk menunjukkan telah dibunuh). Dari cerita-cerita penua, tetua di desa, Pekak Kompyang di bunuh di kuburan desa tetangga. Sedangkan Pekak Wayan berhasil melarikan diri saat malam hari akan diculik, tapi hingga kini tidak kembali-kembali. Desas-desus di desa, ia berhasil ditangkap dan langsung dibunuh di sebuah tegalan, ladang.
Dari pewarisan ingatan di desa itu, saya membaca sebuah buku[4] yang menyebutkan hampir 80.000 hingga 100.000 “manusia merah” di Bali tewas terhempas timah panas dan tebasan klewang, samurai panjang saudaranya sendiri. Saya menghela nafas, sungguh keji dan brutal landasan “pariwisata, harmoni dan berbudayanya” manusia Bali yang terbangun selama ini dan dipercayai hampir seluruh masyarakat Bali. Dan kemudian saya meyakini bahwa ada segudang narasi yang terbungkam dari peristiwa pedih dan menyesakkkan jiwa sebagian manusia Bali, delapan persen dari penduduk Pulau Seribu Pura ketika itu, satu dari diantara dua belas manusia Bali, tewas mengenaskan dalam peristiwa berdarah itu. Tidak ada yang bersuara, senyap dan bungkam akan ingatan tragedi kekerasan massal itu.
Untuk itulah, saya memegang teguh sebuah angan-angan, “Memberi Suara pada yang Bisu”[5] di buku ini dan juga karya-karya selanjutnya tentang tentang PKI di Bali. Saya meyakini prinsip ini dengan sepenuhnya, kerena “kekuatan” sejarah bukan hanya pada dokumen dan kronologi—meskipun ini menjadi salah satu bagian penting dari buku ini— tapi juga pada penuturan manusia biasa dalam kemelut sejarah, rakyat kecil yang merasakan dampak dari pertarungan politik dan sejarah. Sebuah kisah akan emosi, kepedihan, rasa kehilangan, pengorbanan, tekad bertahan hidup, kebungkaman bersuara, trauma, merajut harkat sebagai manusia yang telah tercampakkan oleh diskriminasi politik dan label “sampah masyarakat”. Bagian-bagian di buku ini menghadirkan perpaduan keduanya.
Sebuah setting sejarah yang makro sebagai perspektif “arus atas” hanya memberi konteks dan latar belakang saja. Tapi di tengah setting sejarah yang global itu ada “narasi kecil” sejarah tentang kisah manusia sebagai pelaku sejarah, yang di dalamnya ada pemenang dan yang kalah di pentas pertarungan. Kekerasan, pelenyapan, pembantaian menjadi kepedihan yang menyertai berlangsungnya pergulatan manusia dalam sejarah. Pertanyaannya, bagaimana sejarah juga berakibat pada kehidupan rakyat biasa, para manusia Bali yang tega membunuh saudaranya sendiri dan harus meratapi kepergian orang yang disayanginya untuk selama-lamanya?
Tragedi ’65 menyiratkan itu semua. Dan buku ini berusaha merajut kembali ingatan itu dengan maksud terdalam untuk menggugat dan memberi makna pada ingatan manusia Bali dalam pentas politik. Semuanya itu hanya didapatkan dengan melakukan wawancara, mendengar penuturan, sebuah metode bernama sejarah lisan (oral history). Dalam buku ini, hasil oral history dituliskan dengan deskripsi yang lirih dan sekuat tenaga berusaha untuk berempati.
Tapi, saya sebenarnya heran, kenapa pelajaran sejarah yang saya pelajari sebelumnya dan juga para sejarahwan, sungguh dangkal dan miskin dalam mengkaji Tragedi ’65? Semuanya sibuk memperdebatkan siapa yang menjadi dalangnya? PKI, Soeharto, konspirasi internasional, atau bahkan Soekarno. Pemaparan sejarah akhirnya sangat konspiratif dan kaku, dengan berderet data-data, dokumen sebagai legitimasi absah dan validnya tulisan sejarah itu. Saya sebenarnya kecewa, tidak pernah mendengar dan membaca pemaparan sejarah kisah manusia biasa yang menjadi korban pertikaian politik dan berakhir dengan pelenyapan nyawa tersebut.
Pendidikan sejarah di sekolah menengah dan perguruan tinggi masih berkutat pada bagaimana “sisi atas” sejarah—yang berisi konspirasi elite, ketegangan ideologi dan lainnya— yang memang penting sebagai sebuah latar belakang sejarah. Hanya baru-baru ini saja, mulai tahun 2002, mulai adanya gerakan “sejarah baru” dengan menggunakan metode sejarah lisan (oral history) dalam penulisan “sisi lain” sejarah, dimana didalamnya terdapat pergulatan manusia dengan kisah kepedihan, emosi, segudang ingatan yang menjadi fokus menyentuh dan memberi warna pada tulisan sejarah.
Hadirnya buku ini berusaha untuk memberikan konteks kronologi sejarah sebagai latar belakang, dan yang menjadi “jantungnya” adalah hasil catatan lapangan tentang kisah-kisah, pergulatan ingatan para survivor, saksi sejarah bahkan masyarakat biasa. Juga penuturan “pelaku” elite (mantan Bupati) yang menjadi Sang Suratma, Dewa dalam mitologi Hindu Bali, yang menentukan nasib nyawa manusia. Buku ini menghadirkan pergulatan kisah manusia Bali saat hidup mencekam di tahun 1965-1966, di sebuah kabupaten ujung barat pulau Bali bernama Jembrana.

Memecah Senyap dengan Antropologi dan Oral History
Sebuah buku yang mengesankan, karya Urvashi Butalia berjudul Sisi Balik Senyap, The Other Side of Silence menginspirasi bagian ini. Sebuah karya “subyektif” yang jujur, dan sudah pasti terdapat keberpihakan penulisnya dalam menuturkan ingatan kepedihan, kegetiran dan pergulatan manusia dalam tragedi Pemisahan India dan Pakistan.[6]
Urvashi memberikan kita cermin bagaimana ketajaman, sensitifitas dan keberpihakan seorang peneliti dan penulis untuk melihat dan menggali suara-suara terbungkam, kisah pedih manusia dalam sebuah pentas sosial politik bernama pemisahan sebuah bangsa. Di dalamnya terdapat segudang narasi bagaimana penuturan ingatan manusia, sebuah kisah yang “kecil” yang diberikan ruang untuk bertutur dan berbagi. Urvashi dengan tegas dan jujur menyatakan dirinya tidak bisa bernaung dibawah jargon karya “objektif” dalam pakem akademik yang kaku. Urvashi tidak memilih untuk berkutat dalam bahasa-bahasa “tinggi” konflik politik pemisahan. Ia lebih tertarik untuk menggambarkan semuanya tidak dengan bahasa-bahasa sulit yang sering digunakan kalangan akademik, ataupun kerangka teoritik yang rumit tapi tidak menjejakkan kakinya. Ia menuliskan dengan detail bagaimana cerita-cerita rakyat biasa yang menjadi korban dari peristiwa pemisahan itu. Ia meminjam suara lirih dan pedih rakyat kecil untuk menjelaskan bagaimana konflik pemisahan bisa berakibat pada perubahan kehidupan, rasa kehilangan dan kepedihan rakyat biasa.
Sebuah sikap yang mengagumkan adalah argumentasinya untuk berpihak pada “suara-suara yang lama dicampakkan”. Suara pedih itu mungkin tidak akan dihiraukan oleh kalangan elite, dianggap sebagai cerita biasa, yang kalah dari cerita elite politik dan masyarakat. Suara-suara dan penuturan rakyat yang “dikalahkan” inilah yang menjadi kekuatan dan fokus penulisan Urvashi. Dari penuturan kisah-kisah itu, semua data dan catatan lapangan yang diperolehnya tentu sangat subyektif. Ia mengakui itu semuanya dan mencoba lepas dari hantu bernama objektifitas.[7]
Ingatan yang terpelihara di masyarakat terhadap suatu peristiwa akan diturunkan terus-menerus pada generasi berikutnya. Karena itulah, menelisik ingatan-ingatan itu, sampai pada keengganan manusia mengingatnya, sampai pada kesenyapan dibalik ingatan manusia, menggugah para peneliti, akademisi, dan para aktivis kemanusiaan untuk bersama-sama belajar menyentuh alas dan dasar setiap persoalan sosial kemanusiaan yang terjadi. Bagi saya, semuanya didapat bukan dengan kerumitan bahasa akademisi yang melangit dan melakukan penelitian dibelakang meja, tapi dengan mendengar penuturan dan membuat rakyat kecil “bersuara” dengan penulisan hasil penelitian yang telah dilakukan. Memang tugas terberat intelektual dan akademisi adalah bagaimana suaranya bisa dimengerti rakyat kecil. Mungkin kata “merubah” terlalu utopis, tapi sangat mungkin terjadi jika para intelektual dan akademisi ini bisa menjejakkan kakinya bersama rakyat, membuat apa yang disampaikannya dimengerti rakyat kecil, berempati, dan bersikap membela rakyat yang “dikalahkan”.
Tapi sebagian besar intelektual dan akademisi, khususnya para antropolog yang fokus kajiannya pada pergulatan manusia dan kebudayaannya, seakan lepas dari “bumi” yang menjadi pijakannya—kisah-kisah manusia dengan problematikanya. Bahkan sangat banyak para antropolog yang menjadi tim ahli pemerintah daerah untuk membangun hotel megah di tengah perkampungan kumuh. Karena itu, rakyat kecil harus digusur dan mengalah pada gerakan pembangunan infrastruktur pariwisata untuk meningkatkan pendapatan daerah.[8]
Di Bali, para antropolog dan intelektual beramai-ramai berebut proyek pemerintah untuk “memberdayakan rakyat” dengan program-programnya. Wacana pemberdayakan rakyat itu terbangun dalam sebuah ideologi pembangunan, yang menggunakan tenaga-tenaga para antropolog dalam pelaksanaannya. Tahun 1980-an, saat pariwisata di Bali menemukan kemapanannya, studi antropologi pembangunan dan pariwisata begitu trendy. Perguruan tinggi memberikan porsi besar pada fokus studi ini. Antropologi pada akhirnya berelasi kuat dengan kekuasaan, ketika pariwisata dan pembangunan menjadi urat nadi kajian para antropolog. Yang menjadi “jualan” mereka adalah sebuah hak milik bernama “kebudayaan” (Bali). Maka terciptalah sebuah kurikulum pendidikan dan paradigma antropologi, dengan bagaimana mencari-cari “nilai-nilai luhur kebudayaan” yang bisa disumbangkan untuk pembangunan dan pariwisata.[9]
Lapisan elite para antropolog ini mengais rezeki dari proyek-proyek penelitian pembangunan dan pariwisata, dimana mereka bertugas melakukan survei kelayakan masyarakat menerima produk-produk industri, atau dibangunnya sebuah pabrik dan hotel. Hal yang sama dilakukan sebagian besar para antropolog kini di Bali dan juga di Indonesia dengan mendikte” masyarakat yang sedang ditelitinya, dijadikan sebagai sebuah “harta sosial dan budaya” untuk mendukung pembangunan pariwisata, khususnya di Bali.
Tidak jarang para antropolog yang hingga kini berkubang dalam “proyek-proyek pelacuran” untuk “menjual“ ilmu antropologi, dan kebudayaan secara umum untuk melegitimasi berlangsungnya proyek pembangunan untuk kepentingan pariwisata. Mereka turun ke lapangan, sementara kepala mereka telah terkonstruksi bagaimana “memanfaatkan” masyarakat, kalau perlu “diberdayakan” dengan digusur, disediakan RSS (Rumah Sangat Sederhana), sementara di tanah mereka berdiri menjulang tinggi mall atau kompleks pertokoan dan perumahan. Atau para antropolog di Bali, tahun 1980-1990-an yang keranjingan mendapatkan proyek respon masyarakat Bali terhadap pembangunan pariwisata budaya. Isi kajian tersebut adalah puja-puji keberhasilan pembangunan pariwisata meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali. Dan terakhir, saat para “antropolog 2 P” (Pariwisata dan Pembangunan) ini mengikuti survei respon dampak bom Bali Oktober 2002 pada kehidupan masyarakat kecil di Bali. Hasil akhirnya sudah pasti recovery pembangunan pariwisata yang “memberdayakan” masyarakat kecil. Di sini lah pengkhianatan antropologi pembangunan dan pariwisata terjadi, bukan menggunakan suara rakyat, tapi memanipulasinya.[10]
Semuanya menunjukkan bagaimana relasi kuasa antropologi dan pembangunan bekerja, khususnya pariwisata di Bali. Saya masih curiga, hingga kini sisa-sisa peninggalan antropologi kolonial itu masih terasa kuat dan bahkan dijadikan acuan pokok dalam setiap perkuliahan di universitas yang membuka jurusan antropologi. Khususnya di Bali, akademisi Universitas Udayana masih menjadi think-thank staf ahli pembangunan “berwawasan budaya” di kota Denpasar. Dalam sejarahnya, para antropolog dan akademisi dari kampus inilah yang melakukan studi-studi kelayakan pembangunan di Bali, penelitian berlangsungnya industri pariwisata pasca 1966 saat orde baru berkuasa. Tapi sebelumnya kampus ini juga memberlakukan screening “Tidak Terlibat G30S/PKI” bagi tenaga dosen dan pegawai. Institusi pendidikan dan ilmu menunjukkan relasinya dengan kekuasaan, rezim pariwisata budaya yang terjadi di Bali.
Paradigma antropologi yang “elite” dan berjarak adalah warisan dari perspektif antropologi kolonial. Sementara massa rakyat yang “dikorbankan” dari pembangunan dan pariwisata, sebuah sebuah kuasa struktur sosial terabaikan. Inilah cermin pergulatan antropologi orde baru, di tengah para antropolog sibuk dengan proyek-proyek konsultan-konsultan pembangunan.
Saya lebih sepakat—dan ini terus menjadi perdebatan para antropolog—, bahwa antropologi bukanlah ajang pemetaan teoritik yang melambung tinggi, pergulatan wacana otonomi daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan manusia dengan grafik dan hitungan keberhasilan. Yang diperlukan antropologi dan para antropolog adalah sikap berpihak pada rakyat yang “dikorbankan” oleh struktur kekuasaan. Karena itulah, sensitifitas dan kepekaan untuk menangkap suara-suara senyap dan bungkam ini menjadi kekuatan bertutur serta sekaligus empati bagi para antropolog. Tentu ini dengan sebuah kesadaran bahwa suara-suara yang terpinggirkan dari rakyat kecil juga mempunyai hirarkhi dan struktur kuasa sendiri. Justru operasi kuasa inilah yang ingin ingin dibongkar oleh antropolog, dan kemudian menuliskannya menjadi sebuah karya yang menggugah dan inspiratif. Paling tidak ini bisa menjadi alternatif untuk menjawab bagaimana antropologi menjelaskan masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
Dan juga sebuah etika bahwa antropologi adalah ruang bertutur bagi rakyat kecil. Karena itulah dengan empati dan etika, para antropolog tidak akan terbuai dengan kontes-kontes konferensi yang megah dan produksi publikasi serta ketenaran dengan melupakan rakyat kecil yang ditelitinya. Dengan tindakan etis dan humanis, selayaknya antropologi menjadi sebuah ruang kesaksian dan bertutur bagi rakyat kecil. Untuk kemudian tidak kemudian dilupakan, tapi dijadikan ruang medium pemihakan bagi para antropolog. Karena dengan menentukan sikap akan menunjukkan pemihakan atau pengkhianatan antropologi di Indonesia.
Dalam buku ini, antropologi bekerja pada sisi senyap ingatan manusia. Beberapa bagian dalam buku ini adalah hasil dari catatan lapangan, sebuah lukisan, deskripsi dari kuburan massal dan ingatan sosial yang ditinggalkan para survivor dan saksi sejarah yang tersingkir dari sejarah kekuasaan. Dengan melakukan catatan etnografi, buku ini berusaha untuk menghadirkan catatan-catatan detail dari sebuah sejarah kekerasan yang berlangsung di negeri ini, khususnya di sebuah pulau bernama Bali. Catatan lapangan antropologi dalam buku ini tentu saja hadir dengan sebuah sikap yang tegas, sebuah pemihakan
Paradigma antropologi yang berpihak pada dan fieldwork itu bertemu dengan metode oral history, sejarah lisan, yang menjadi ganre baru sejarah. Metode ini lahir dari kritik terhadap metode sejarah positivistik, no document no history, yang hingga kini masih kuat pengaruhnya di Indonesia. Dengan sejarah lisan, hadir penuturan-penuturan dari “arus bawah”, masyarakat biasa yang menjadi pemenang dan korban pertarungan sejarah dan kekuasaan.
Sejarah lisan mencoba mengungkap cerita-cerita melalui metode dengan mewawancari orang-orang yang dibungkam dan didiamkan oleh struktur kekuasaan. Sejarah lisan digunakan terutama sebagai metode untuk mengungkap cerita-cerita dari komunitas yang dipinggirkan, ditindas, dan menjadi korban. Gagasan dasarnya adalah penulisan sejarah harus lebih dari sekadar cerita tentang para presiden, raja-raja, menteri, pemerintah; sejarah juga harus bicara tentang orang biasa, pemikiran, sudut pandang, dan perasaan mereka.[11]

Personalisasi Sejarah dan Makna Dibalik Ingatan
Dari penulisan buku ini, saya banyak dihadapkan pada cerita-cerita kekejaman dari pembantaian massal 1965-1966 di Bali. Cerita-cerita kekejian anak manusia, kepedian dan sangat memilukan. Beban cerita pedih itu terus mengusik saya untuk bertanya dalam diri, “Apakah kamu akan menulis semua cerita kekejaman itu (deskripsi pembantaian massal di Jembrana?) atau kembali “mengarangnya” pada sebuah versi sejarah yang “dikarang-karang menurut versimu. Lalu di mana objektifitasmu?” Semua pertanyaan itu menghentak saya. Saya dihadapkan pada persoalan mengkonstruksi ingatan dan bayang-bayang hantu yang seram bernama “objektifitas”. Bisakah saya merangkai beragam fakta jejak-jejak pembantaian massal di Bali menjadi sebuah “kebenaran” baru?
Saya tidak berpretensi buku ini menjadi “kebenaran baru” atau bahkan menjadi sebuah karya yang objektif. Saya dan karya ini adalah sebuah subyektifitas, personal, yang menulis jejak-jejak pembantaian massal PKI di Bali, khususnya di wilayah Jembrana. Sebagai personal, saya mempunyai sikap politis, pemihakan, empati juga rasa emosional yang mempengaruhi penulisan buku ini. Ini sebuah karya subyektif, perspektif dan sebuah versi saya melihat Tragedi ’65 yang terjadi di Bali.
Saya teringat penandasan awal Urvashi Butalia saat menulis The Other Side of Silence, Sisi Balik Senyap;

“…Satu di antara hal-hal yang sangat menyusahkan aku pada saat memulainya (penulisan tentang Pemisahan ini) adalah justru kurangnya apa yang dikenal sebagai ‘objektif’ itu dalam karyaku ini. Sama sekali tidak ada jalan bagiku untuk menyangkal keterlibatan pribadi; tidak mungkin aku dapat berpretensi bahwa di sini tidak ada sangkut-paut emosial yang emosial yang menjeratku; mustahil kuhapus dan kuhilangkan keterlibatan politisku. Jika paparan ini dianggap sebagai sejarah, sangat mungkin ia akan dibuang ke luar jendala. Maka, barangkali cara terbaik untuk membacanya ialah dengan menambahkan kata ‘pribadi’ atau ‘personal’ pada sejarah yang kuupayakan dalam buku ini. Dan mencampakkan, sekaligus dan untuk selamanya, segala gagasan tentang objektifitas atau jarak. Ini adalah sejarah pribadi yang tidak berpretensi menjadi objektif…”[12]

Pergulatan itulah yang membuat saya bimbang telah mengerjakan apa sebenarnya dalam penulisan buku ini. Kebimbangan atau lebih tepatnya kegamangan yang selalu menghantui setiap saya menulis catatan-catatan lapangan saya dalam buku ini. Saya merasa dilematis dalam memandang sebuah peristiwa puncak kekejaman manusia, pembantaian massal sesama saudara di hari-hari mencekam sepanjang 1965-1966 di tanah air tercinta ini. Saya merasa sangat berat beban hantu objektif tersebut. Saya berkeyakinan kisah dalam buku ini adalah subyektifitas, perspektif saya melihat sejarah dan pergulatan ingatan dibaliknya.
Saya meyakini setiap konstruksi sejarah di dalamnya bertarung relasi kuasa, kepentingan dari sang pemenang sejarah. Karena itu, ada yang “dikalahkan” demi tersohornya sang pemenang yang tertulis sebagai hero. Manusia yang “dikalahkan” dalam sejarah akhirnya tersudut dalam ruang-ruang senyap tanpa berani bersuara lain. Sementara sang pemenang terus-menerus mereproduksi sejarah kemenangan mereka.
Saya bertekad untuk menelisik dan mempelajari bagaimana kontestasi, relasi ingatan dalam sejarah adalah sebuah derai-derai narasi-narasi personal, keinginan manusia untuk mengingat dan melupakan kenangannya. Di balik ingatan tersembunyi segudang pertanyaan mengapa dan bagaimana mereka mengingat. Tekad saya adalah menembus kisah-kisah dalam ingatan sejarah manusia Bali untuk membiasakan kita bersuara dan memecah kebungkaman bertutur selama ini. Tapi saya bertanya, apakah ada cara tertentu yang memungkinkan sejarah menyediakan ruang bagi suara lirih, suara perseorangan?[13]
Saya bingung dan ingatan saya menembus bagaimana bayangan, ingatan, dan cerita-cerita sadistik tentang cerita kekejaman PKI yang melakukan pembunuhan terhadap enam jendral dan satu perwira menengah. Setting malam mencekam ketika pasukan Cakrabirawa turun perlahan dari truk mengepung rumah para jendral tidak bisa saya lupakan. Musik di film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C Noer[14] itu membuat saya kadang menutup mata dengan bantal untuk menyaksikan setiap adegan di film tersebut. Saat seorang anak jendral menangis sejadi-jadinya memandang ayahnya tewas tertembak dengan lumuran darah. Selanjutnya si anak meraup mukanya dengan darah ayahnya. Adegan itu jujur membuat saya tersentuh dan kemudian berpikir, “PKI memang Biadab”
Adegan lain yang tidak akan pernah saya lupakan dalam proyek “ritual 30 September” itu adalah saat para jendral diseret ke kamp penyiksaan di daerah Lubang Buaya. Mulailah “aksi silet” yang dilakukan Gerwani dalam menyiksa para jendral. “Darah itu merah jendral,” adalah kutipan dialog yang selalu membekas dalam ingatan saya. Kembali ke sekolah, kalimat itu selalu digunakan beberapa kawan untuk mengancam kawan yang lain. Seperti ratusan juta generasi pasca reformasi, yang lahir tahun 1980-an seperti saya, menyaksikan “tontonan wajib” itu berulang-ulang tanpa henti setiap tanggal 30 September dan kembali lagi diwajibkan menonton bersama di gedung bioskop.
Pakaian putih merah, putih biru, dan putih abu-abu adalah seragam resmi kami untuk menyerbu gedung bioskop menyaksikan film itu. Bagi saya, itu adalah rekreasi karena menonton film. Padahal, ratusan kali menonton film tersebut, adalah proyek propaganda ingatan dengan memborbardir cerita kekejaman yang dilakukan PKI.
Ingatan selama masa-masa SD, SMP, dan SMU itu kembali coba saya ulangi pada suatu hari di bulan Juni 2005. Tanpa sengaja, saat memasuki rental VCD sebuah daerah di Yogyakarta, saya melihat katalog film Pengkhianatan G30S/PKI. Ada keinginan untuk melihat kembali. Pertanyaan dalam diri saya, “Apakah saya masih merasakan kengerian dalam melihat film itu setelah hampir 10 tahun tidak menontonnya lagi?”
“Film pemerintah” begitu sebutan seorang kawan mengistilahkan film resmi G30S itu. Dari tiga keeping VCDnya, saya hanya kuat menonton dua keepingnya. Setelah itu saya merasa tidak kuat lagi melihat setting kengerian film tersebut. Musik dan wajah manusia, berseragam tentara, mengepulkan asap rokok dari mulut membuat muak melanjutkan ke satu keeping VCD lagi.
Tapi saya terheran, kenapa masa sekolah dulu saya sangat kuat menonton film berdurasi tiga setengah jam itu. Setiap tahun saya dan seluruh generasi orde baru menontonnya. Sungguh sebuah praktek propaganda dan cuci otak yang paling efektif. Generasi yang dilahirkan kemudian adalah anak muda yang pemarah, apolitis, dan pragmatis. Ini sejalan dengan proyek ideologisasi manusia berwawasan pembangunan dan budaya di republik ini.
Generasi Orde Baru hidup dengan segudang ingatan kekejaman PKI. Proyek penyeragaman ingatan kolektif ini tidak hanya dihadirkan dalam teror visual, sebuah strategi propaganda paling menyentuh dan tertancap kuat pada ingatan saya dan juga manusia Indonesia yang lainnya, dan mungkin seluruh generasi orde baru. Selain itu, buku-buku pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB)[15], pelajaran yang sangat saya sukai, selalu tertera “pengkhianatan dan pemberontakan pada pemerintahan yang sah dilakukan PKI”. Sadis dan biadabnya PKI ditunjukkan dengan kekejamannya menyiksa dan membantai tujuh jendral serta melakukan pemberontakan. Selain itu ditanamkan sikap heroisme Soeharto yang telah menyelematkan republik dari kudeta berdarah yang dilakukan “musuh-musuh negara”, PKI dan antek-anteknya.
Degung Santikarma, antropolog dari Bali, menuliskan dengan tajam:
Contohnya adalah film Pengkhianatan G30S/PKI yang disutradarai oleh "Si Penguasa". Layar perak ini menebarkan bayangan kelabu di ruang publik, yang tidak hanya menuntut ketakutan penontonnya, tapi juga ingin menguasai alam mimpi mereka dengan citra-citra kekejaman. Rupa wajah simpatisan komunis digambarkan sebagai orang-orang sadistis, beringas, bengis, tidak beragama yang menghalalkan segala cara. Brutalitas lelaki komunis yang disandingkan birahi liar kaum perempuan Gerwani yang melakukan persetubuhan dan kekerasan. Meminjam istilah dari Valentine Daniel, film karya Arifin C Noer itu adalah "pornography of violence," di mana nafsu dan teror sulit untuk dipisahkan. Bayangan mimpi-mimpi buruk ini menyusup ke tempat tidur dan menyelinap ke dalam kehidupan sehari-hari melalui penanaman dalam penataran P4, maupun buku-buku kurikulum sejarah dan pada peringatan upacara hari-hari besar nasional. Sampai akhirnya terbentuk sebuah keyakinan sosial bahwa menjagal kaum komunis lebih etis dibandingkan membunuh seekor anjing.[16]
Soeharto kemudian muncul sebagai “pahlawan” dan dewa penyelamat dengan “Operasi Pengganyangan Komunis” di seluruh tanah air ini. Catatan sejarah rezim Orde Baru mencitrakan Soeharto sebagai penyelemat bangsa dari rongsongan rezim komunis.[17] PKI adalah partai terlarang dan komunisme menjadi barang haram untuk dibicarakan. Selama 30 tahun lebih, kekejaman PKI adalah harga mati, karena itulah partai palu arit, organisasi politik komunis terbesar ketiga di dunia itu harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Dan aksi pasca G30S sama sekali tidak ada dalam dalam pelajaran buku-buku sejarah. Dalam film, terlihat bagaimana heroiknya tentara (RPKAD) dan milisi lokal melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh menjadi simpatisan dan anggota PKI, dan itu disahkan. PKI habis dan mulailah menatap pemerintahan baru, rezim orde baru.
Dari deskripsi di atas, saya membincangkan sebuah fakta, ada “fakta lain” yang dibungkam, dihilangkan demi “kebenaran” dan “kemenangan” fakta yang lain. Di sini adalah bagaimana fakta/kebenaran orde baru membenamkan fakta dari para survivor dan saksi sejarah yang “kalah“ dalam Tragedi ’65. Tapi, studi ini tidak hanya bergulat pada keberbedaan dan pertentangan fakta dan “kebenaran” itu, tapi juga bagaimana latar di balik fakta dan kebenaran itu, yang berada pada ingatan dan penuturan para survivor dan saksi Tragedi ’65 di Bali, khususnya di Jembrana.
Urvashi Butalia dengan mengutip James Young mengatakan,

Kenangan-kenangan dan kesaksian tentang holocoust (kematian massal manusia karena dibakar, dalam masa kekuasaan Hitler), memampangkan pertanyaan ini: bagaimana kita dapat mengetahui holocoust kecuali dari berbagai cara penyampaian orang kepada kita? Dia menjawabnya dengan menyatakan bahwa seperti halnya dengan melalui ‘sejarah’-nya, kita dapat memetik pengetahuan yang sama banyaknya tentang holocoust dari representasi literer, fiksional, histories, dan melalui representasi kesaksian pribadi pribadi, karena yang penting bukan hanya ‘fakta’ kejadian melainkan juga—yang sama pentingnya—cara orang mengingat dan merepresentasikan fakta itu[18]

Tragedi ’65—dalam masa pemerintahan otoritarian orde baru—adalah pentas bagaimana cara mengingat peristiwa terkeji dalam sejarah bumi manusia ini mencoba diseragamkan oleh negara. Cara mengingat orang coba dibombardir dengan visual film Pengkhianatan G30S/PKI serta penyeragaman pelajaran sejarah. Cara orang mengingat dan merepresentasikan ingatan tentang Tragedi ’65 telah direbut oleh negara dalam ruang-ruang paling privat dalam hidup manusia: ingatannya. Tapi, di tengah proyek distorsi dan mesin propaganda sejarah itu, pasti ada saja gugatan-gugatan ingatan yang hadir di ruang-ruang kecil dan intim dari individu, yang memberikan perspektif lain dari kuasa representasi negara dalam mempengaruhi cara mengingat manusia terhadap sebuah tragedi.
Saat rezim otoritarian orde baru, segala suara kritis “kekiri-kirian” disumbat dengan stigma “PKI”. Sebagian masyarakat masih saja traumatik dengan “kekejaman” PKI membunuh para jendaaral. Seolah tiada maaf bagi PKI dan harus dilenyapkan. Anak-anak muda yang “kekiri-kirian” ini dicap “PKI” dan semua masyarakat menyalahkannya. “Kenapa ikut-ikutan membangkang. Mau berkhianat seperti PKI?”[19] adalah keluh kesah masyarakat umum yang masih tertanam ingatan kejamnya partai pimpinan DN Aidit ini.
Tapi, selama rezim otoritarian orde baru, tidak ada satupun yang membincangkan bagaimana cerita “pembasmian” ke akar-akarnya pada PKI itu berlangsung? Pemusnahan komunis adalah harga yang pantas diterima sekelompok pengkhianat. Tidak ada gugatan terhadap arus balik reaksi G30S ini, yang mungkin lebih kejam jauh dari penggambaran film Pengkhianatan G30S/PKI. Semua bilik-bilik ingatan pelaku dan saksi sejarah senyap dan bungkam oleh mahluk bernama “Rencana-rencana Pembangunan” dan bergiat diri mewujudkan ”Manusia Berbudaya” dalam konteks Bali.
Semua catatan sejarah itu kita ketahui dari pewarisan sebuah ingatan, sebuah wasiat yang akan terus turun-temurun pada generasi sebelumnya. Begitulah sejarah yang bisa liar berada di sekitar kita tidak hanya melalui teks-teks buku sejarah, tapi juga pada penuturan, kesaksian, memoar, ingatan kolektif yang coba dibungkam, cerita-cerita rakyat yang penuh ketegangan, bahkan cara manusia membungkam dan mengingat ingatannya. Semuanya adalah bentuk representasi dari ingatan, yang bukan hanya sekadar fakta, tapi juga “ada apa di balik fakta itu?”
Pergulatan saya adalah perjuangan lari dan melepaskan diri dari perdebatan tentang “pertarungan fakta dan kebenaran” yang kadang menyesatkan, menjebak pada kebenaran masing-masing versi. Meskipun dalam buku ini, “pengungkapan kebenaran”, khususnya detail dan deskripsi pembantaian massal PKI di Jembrana Bali menjadi fokus penting, tapi di dalamnya ada gugatan dan pertarungan, pergulatan dan sisi lain bagaimana manusia-manusia Bali mengingat peristiwa itu (Tragedi ’65). Penuturan, kesaksian mereka adalah bentuk representasi bukan hanya fakta dan versi ingatan dari mereka saja yang menjadi poin penting, poin lainnya adalah bagaimana cara mereka mengingat dan melupakan. Penuturan itu tercermin dalam ingatan dari “orang penting” dan “tidak penting” dalam kontestasi Tragedi ’65 di Bali.
Dibalik ingatan ada sebuah misteri, ingatan baru dan makna. Ingatan dibalik ingatan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana ingatan memiliki segudang makna. Pembungkaman ingatan selama rezim otoritarian orde baru adalah salah satu contoh bagaimana sisi di balik ingatan para survior atau saksi sejarah Tragedi ’65. Kebungkaman, keengganan orang melihat adalah satu nilai penting untuk membongkar bagaimana cara orang mengingat dan melupakan tragedi itu. Semuanya bisa tersemai tidak hanya pada teks-teks dan buku-buku sejarah resmi yang telah diterbitkan oleh negara, tapi pada penuturan masyarakat kecil dalam pergulatannya menghadapi sejarah, pada para survivor, istri Tapol (Tahanan Politik), anak dan keluarga mereka.
Tapi, bukan hanya kisah-kisah naratif atau penuturan saja yang menjadi sumber dari ingatan. Di bagian buku ini, satu bagiannya membahas tentang “ruang-ruang” pemicu ingatan, yaitu mass grave, kuburan massal yang ada di setiap jengkal tanah di Bali.[20] Kuburan massal adalah ruang non naratif yang menjadi mediasi untuk kembali menerawang mengingat Tragedi ’65 bagi para survivor dan saksi sejarah. Kehadiran ruang dalam keakraban sehari-hari adalah salah satu stimulasi dari ingatan. Dalam bagian Kuburan Massal di buku ini, saya menuliskan catatan lapangan mengunjungi kuburan massal di Jembrana, mendeskripsikannya dan mengungkit kenangan lama ruang tersebut dari beberapa survivor dan saksi sejarah Tragedi ’65.
“Ruang” itu bukan monumen dengan kemegahan bangunan berbeton, bertuliskan nisan kenangan, tempat rekreasi dengan tiket dan pengunjungnya yang bisa berfhoto-fhoto. “Ruang” itu bukan monumen Lubang Buaya, tapi ladang-ladang tidak terawat, sumur tua, pesisir pantai dengan rerumputan liar, bahkan hotel-hotel berbintang atau bungalow di pinggir pantai. Tidak kelihatan bahwa itu adalah “monumen” dan “ruang” sejarah kekejaman anak manusia terjadi.
Monumen, apapun bentuknya adalah sebuah peringatan untuk ingatan. Tapi dibalik ingatan ada segudang pertanyaan. Setumpuk cerita tentang kepahlawanan, kebengisan, tumpah darah, tetes air mata yang membuat ingatan kita digiring pada sebuah narasi dan kenangan. Di Bali, setiap perempatan jalan dipenuhi monumen. Di pusat kota berdiri megah Bajra Sandhi, Monumen Perjuangan Rakyat Bali. Negara ini telah banyak membuat monumen-monumen yang membuat masyarakatnya teringat akan sebuah peristiwa sejarah serta heroiknya pahlawan dan perjuangannya. Tapi seiring ingatan tersebut terbentuk dan melembaga, kita kadang lupa bahwa ada apa sebenarnya di balik monumen itu, pondasi apa yang membentuknya dan kebohongan apa yang lahir darinya? Kemegahan monumen kadang membuat kita lupa dan sama sekali tidak ada gugatan pada “cerita kebenaran” tentangnya.
Kebohongan monumen membuat kita melupakan “monumen” lain, yang tersemai pada ingatan-ingatan masyarakat yang selama ini terbungkam dengan kebenaran sejarah tunggal sang monumen. Saya mempunyai kenangan, lebih tepatnya sebagai catatan lapangan, bagaimana sejarah kekerasan di Bali menyimpan monumen lain yang selama ini dibisukan. “Monumen” itu lahir dari penuturan para saksi dan korban sejarah yang lama berbungkam. Dari ruang bertutur itulah saya mencoba melacak jejak ingatan tentang “ladang kekejaman” di tanah-tanah “manusia merah” di Bali yang diuraikan dalam bagian buku ini.
Penghargaan kita bukan hanya sebatas membuat monumen, memperingatinya dengan upacara megah dan ritual untuk membuat harmonisasi pada masyarakat. Bukan juga dengan membungkam gugatan ingatan yang memiliki versi lain dari negara. Sejarah kekerasan kemanusiaan hanya membutuhkan ruang berbagi untuk bertutur dan memperoleh pengakuan. Dan sudah pasti membutuhkan empati dan kepedulian kita, untuk satu keyakinan untuk tidak melupakan dan mengulanginya lagi.
Sebuah monumen bisa bermaksud mengingatkan kita, tetapi sebuah monumen juga bisa mengelabui darah korban kekerasan dengan estetika, dengan kemegahan, yang akhirnya memuaskan kita sampai kita tidak bisa bertanya lagi, sampai kita melupakan apa sebenarnya yang ada di bawah fondasi monumen. Sejarah kekerasan tidak memerlukan taman makam, pusara berjuru kunci, kemeriahan upacara, apalagi monumen. Yang dibutuhkan hanya sebuah ruang untuk bertutur dan berbagi dengan bebas, sebuah bahasa yang bisa mempertautkan pembicara dan pendengar yang bijak[21]

Dalam Ingatan Kekerasan: Pergulatan Melawan Kejujuran dan Empati
Tidak ada yang mempersoalkan bagaimana pornografi kekerasan berlangsung tiga puluh tahun tanpa henti di depan mata beratus juta generasi muda di republik ini. Semuanya berlangsung apa adanya, baik-baik saja. Film dan pelajaran sejarah dianggap sebagai cermin untuk selalu waspada pada bangkitnya kembali komunisme di Indonesia. “Seluruh komponen masyarakat harus waspada pada munculnya gerakan-gerakan komunis gaya baru yang menyusup di tengah masyarakat,” begitu kurang lebih “petunjuk” para pejabat untuk mengingatkan masyarakatnya untuk selalu menjaga stabilitas politik dan keamanan di desa masing-masing.
Pornografi dan vulgarnya kekerasan PKI—dalam image film, cerita-cerita buku sejarah, dan penuturan para “pemenang sejarah”— adalah satu persoalan yang membuat citra PKI harus ambruk dan kemudian dibubarkan. Sementara para anggota dan simpatisannya dibantai oleh lawan politik mereka dalam persaingan politik di tahun 1960-an.
Seolah hanya PKI saja yang melakukan pembunuhan terhadap tujuh jendral, sementara reaksi balik pembantaian massal tidak pernah dipersoalkan? Bukankah ini jelas-jelas termasuk rangkaian kekerasan massif yang dilakukan oleh “negara” dengan memakai wajah, alat, organisasi, dan manusia-manusia yang telah berwajah “negara” untuk membunuh saudaranya sendiri.
Para milisi sipil dan tentara (RPKAD) yang melakukan pembantaian, jika ceritanya telah didapatkan, juga adalah sebuah narasi pornografi kekerasan. Begitu vulgarnya cerita kekerasan yang dilakukan seolah tertelan “keabsahan” untuk membantai komunis sebagai musuh bersama. Dua pornografi kekerasan—yang ditunjukkan melalui propaganda negara dalam “menstigmakan” PKI sebagai musuh dan cerita pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI—adalah dua wacana yang menyertakan berbagai relasi hubungan antara politik ingatan dan kekuasaan. PKI dituduh melakukan pembunuhan jendral dan begitulah adanya opini yang tertanam kuat. Karena itulah negara kemudian wajib membasmi mereka.
Berkecamuknya diri saya pada penulisan hasil fieldwork dan pergulatan diri dalam rangkaian besar “Peristiwa ‘65”, berbuah pada sebuah perspektif “tajam”. Perspektif itu adalah tentang pentingnya paradigma “etika politik”[22] dalam penulisan tragedi kemanusian yang menyisakan berjuta versi ingatan, kepedihan, dan air mata. Etika politik menjadi kata kunci untuk menepis pornografi kekerasan yang tumbuh subur dan berlangsung bertahun-tahun di republik ini.
Rangkaian “kebohongan” konstruksi kekerasan yang dilakukan PKI dihadirkan dengan teror dan vulgar lewat film propaganda negara dan monolotiknya “kebenaran” sejarah pada negara dan kekuasaan. Hal ini terlihat jelas dari rangkaian panjang pembodohan generasi di Indonesia yang berlangsung bertahun-tahun. Etika politik menjadi sebuah refleksi tindakan etis dan moral untuk memotong pembodohan itu.
Tapi, pengungkapan kebenaran dengan menghadirkan narasi pembantaian massal 1965-1966 juga mengundang perdebatan. Menghadirkan deskripsi pembantaian itu dengan detail (vulgar?) juga adalah teror yang sama bentuknya seperti dilakukan orde baru. Menuliskan kembali ingatan para korban dan saksi sejarah pembantaian tersebut ternyata bagaikan dua sisi mata uang: terjerumus dalam teror baru dengan detail narasi pembantaian atau membungkusnya dalam narasi yang samar, simbolik, tidak detail (vulgar?). Disinilah dilematis saya.
Kritik itu berawal dari komentar seorang kawan yang mengatakan detail narasi saya pada bagian hari-harian pembantaian massal di Jembrana, Bali penuh dengan darah dan cerita-cerita kejam.[23] Orang dibantai, diseret dan dikubur dalam sumur-sumur yang oleh warga sekitar kemudian dinamakan “Lubang Buaya”. Tapi, memang itulah sebenarnya yang terjadi, dan kalau tujuan untuk pengungkapan kebenaran, cerita itu harus dihadirkan dengan sejujurnya. Kalau direkayasa dan dijadikan “sopan” dan “halus”, kita telah menutup kebenaran yang “sebenar-benarnya”
Adalah Gung Kak, kakek seorang kawan yang merepresentasi “kesakitan” baru membaca deskripsi pembantaian yang terdapat dalam buku Indonesian Killings Robert Cribb.[24] Kawan saya bertutur, Gung Kaknya langsung membuang buku Indonesian Killings tersebut begitu membaca bagaimana kekerasan dan vulgarnya detail manusia dibunuh kembali dilihatnya. Membaca pedihnya deskripsi pembantaian itu, membuatnya tidak tahan lagi membaca. Gung Kak masih trauma mengingat bagaimana ia terselamatkan dari urutan pembantaian manusia di Bali pada hari-hari mencekam di tahun 1965-1966. Gung Kak adalah seorang aktivis dari organisasi massa PKI, dan saat malam-malam pembantaian di desanya, ia terselamatkan atas jasa sahabatnya yang mengetahui bahwa ia akan “diambil”. Ia kemudian lari bersembunyi hingga ke luar negeri.
Ide untuk pengungkapan kebenaran melalui narasi pembantaian ternyata dipersepsikan lain oleh para survivor dari Tragedi ’65. Semua yang terjadi telah menciptakan sebuah image akan kekejaman anak manusia yang tidak termaafkan. Mengingat kekejaman itu, bagi para survivor, adalah mengungkit kenangan pahit bagaimana teror dan penyiksaan yang tidak akan terlupakan, bahkan membekas sampai saat ini.
Bagaimana Gung Kak selalu ingat gemerincing kunci para sipir adalah pertanda “hilangnya” seorang sahabat, yang diambil dari jeruji penjara dan tidak akan pernah kembali. Saat gemerincing kunci terdengar, Gung Kak bersama kawan-kawannya di dalam penjara menutup telinga dan menunggu nasib siapa yang akan diambil dan dibunuh. Cerita lainnya adalah ekspresi Gung Nini ketika difoto untuk dokumentasi seorang wisatawan di rumahnya. Ia takut dan menolak untuk difhoto. Ia mengingat Begitu juga dengan model-model cerita pembantaian bagaikan petir di siang bolong yang membuatnya kembali tertunduk pedih bagaimana kok bisa manusia Bali saling bantai sesama saudaranya sendiri? Gung Kak memiliki segudang pertanyaan, bagaimana kok bisa politik negara, pertarungan antara PKI dan PNI, sampai membuat ratusan ribu manusia di Bali, sebuah pulau wisata seribu pura, saling bantai. Bagaimana operasi pertarungan ideologi itu dijelaskan sampai berakibat pembantaian massal manusia? Dalam bahasa yang lain, bagaimana “narasi besar”—peran CIA, pertarungan ideologi komunis dan kapitalis, konflik elite politik, dan usaha pendongkelan Soekarno—sampai berakibat pada tragedi kemanusiaan paling kejam di Republik ini? [25] Atau bagaimana pertarungan politik elite itu bisa berakibat saling bunuhnya rakyat kecil di bawah? Gung Kak menginginkan penjelasan itu semua?
Bagi Gung Kak, kekerasan adalah keakraban sehari-hari di Bali, yang terjadi karena akumulasi yang kompleks, rumit, sengkarut pada pentas-pentas politik dan kebudayaan manusia Bali. Inilah yang oleh para ahli disebut kontestasi lokal, “narasi lokal”, “subyektifitas lokal” yang juga berperan dalam tragedi pembantaian massal PKI di Bali.[26] Di dalamnya terdapat sentimen pribadi manusia Bali, soal konflik tanah, persaingan adat dan ritual, atau bahkan soal cemburu kekasihnya direbut, dan segudang kompleksnya “narasi kecil” yang memberi andil sadisnya pembantaian atas nama “membasmi komunis sampai ke akar-akarnya”.
Dua narasi yang bertentangan itu juga bertendensi menghadirkan kekerasan yang vulgar, yang mungkin tidak diinginkan oleh sebagian korban, termasuk Gung Kak dan juga Gung Nini. Ini menunjukkan betapa tajam dan massifnya penyiksaan dan teror kekerasan yang terjadi, hingga membuat manusia sangat trauma dengan gemerincing kunci dan difhoto.
Beragam penelitian akademik dan catatan jurnalisme kadang menjadi deskripsi reproduksi kekerasan dan penghadiran pornografi kekerasan di depan mata pembaca, termasuk di dalamnya para survivor dan saksi sejarah. Pengungkapan kebenaran akhirnya menjadi ambisi akademik dari para akademisi, peneliti untuk mengungkap seluas-luasnya fakta yang terbungkam selama pembantaian PKI di seluruh tanah air ini. Disinilah
Di sinilah dilematis dan pergulatan saya ketika beritikad menekuni studi tentang politik kekerasan pembantaian massal PKI, khususnya di Bali. Saya sudah meyakinkan diri, mendengar penuturan para survivor akan membawa saya pada rasa empati dan keterkejutan. Ternyata ada bagian sejarah yang “hilang” melalui penuturan dan kisah-kisah dari rakyat kecil. Penuturan para survivor itu adalah harta sejarah yang sangat berharga untuk melakukan penggugatan terhadap versi sejarah resmi dari negara.
Tapi harta berharga sejarah itu bisa menjadi bumerang bagi para survivor. Beragam laporan penelitian akademik dengan mengungkap terus-menerus “kebenaran” versi lain pada Peristiwa ’65 ternyata adalah trauma baru bagi para survivor. Pengungkapan kebenaran mengandung arti diungkapkan dengan sejujur-jujurnya, apapun “sebenarnya” yang terjadi saat pembantaian massal 1965-1966. Cerita kepedihan, kesadisan, bahkan pornografi kekerasan dalam detail-detail deskripsi pembantaian dan survive untuk hidup para pelaku sejarah dan keluarganya menjadi bahan yang penting
Akhirnya setiap “kebenaran” mempunyai konstruksinya masing-masing. Mungkin kini “kebenaran” harus diungkapkan dari keterbungkaman dan teror serta penyeragaman sejarah yang dilakukan orde baru. Tapi cerita “kebenaran” itu haruslah diseleksi, disaring bahkan diperhalus dengan etika penulisan agar menjadi cermin dan pelajaran dari hancurnya rasa kemanusiaan di bumi pertiwi ini. Jika euphoria pengungkapan kebenaran terus diumbar, bukan tidak mungkin yang terjadi adalah bentuk teror baru, trauma baru yang dialamai para survivor, saksi sejarah ataupun keluarganya
Vulgarnya deskripsi kekerasan juga bisa terjadi pada penulisan pengungkapan kebenaran yang kini sedang gencar dilakukan oleh aktivis dan intelektual yang concern terhadap persoalan dehumanisasi pembantaian missal 1965 ini. Memang ini akan menghadirkan fakta, perspektif, dan “kebenaran” baru yang ditutup-tutupi. Tapi membaca cerita detail pembantaian, mayat diseret, dan orang dipenggal kepalanya adalah bentuk teror baru, kepedihan serta vulgarnya narasi kekerasan. Dengan mengungkapkan fakta yang benar-benar terjadi ini, para survivor kembali akan terbayang masa lalunya, mengingat kenangan yang menyedihkan. Bagi yang ingin mengubur masa lalunya akan menghindari hal ini dan menolak untuk membuka ingatan masa kelam itu.
Trauma dan kengerian membaca deskripsi pembantaian masa lalu terlihat dari yang dialami oleh Gung Kak. Ia harus menerima diteror “kekerasan vulgar”, pertama pembengkokan dan distorsi sejarah oleh orde baru dan kini teror baru yang kembali memunculkan luka dan kenanganan kelam masa lalunya, hari-hari penyembelihan manusia Bali 1965-1966.
Inilah dilema saya. Ketika mendapatkan cerita-cerita detail pembantaian, saya dituntut untuk bisa “mengkonstruksinya” menjadi sebuah rangkaian cerita yang menyentuh, pedih tapi tidak vulgar. Kritik dari beberapa kawan yang menyebutkan tulisan saya penuh darah saya terima sebagai kritik yang tajam, yang semakin mengingatkan saya untuk menulis dengan penuh simbolik, subtil tapi menyentuh pada dasar nurani manusia. Justru inilah tantangannya.
Beberapa deskripsi dalam buku ini adalah hasil pergulatan melawan “euphoria pengungkapan kebenaran” itu. Pragmatisme dan ambisi intelektual kadang tidak memperhatikan empati dari para survivor yang menjadi saksi kunci peristiwa ’65. Ambisi intelektual untuk mengungkap kebenaran kadang melupakan “perasaan”, empati pada para survivor yang mengalami bagaimana kepedihan, penyiksaan, dan perjuangan untuk bisa hidup terus dikumandangkan. Penulisan-penulisan akademik kadang hanya jargon perspektif korban tanpa memperhatikan bagaimana perasaan korban membaca tulisan tersebut, apakah terteror kembali ataukah merasa terwakili suaranya? Karena itulah etika politik, humanisme dan empati menjadi poin yang sangat penting untuk menghadirkan karya yang menggugah, tajam, tanpa harus mengumbar vulgarnya kekerasan yang terjadi.
Memang selama ini banyak para survivor Tragedi ’65 yang menciptakan ruang berbagi temu-temu korban dan silaturahmi untuk menjalin persaudaraan. Tapi narasi mereka tetaplah konstruksi yang harus diolah menjadi sebuah nilai yang arif dan bijak, bukan senjata makan tuan yang kemudian tambah memberatkan mereka. Banyak memang para survivor yang belum siap bercerita. Mungkin salah satu sebabnya mereka masih trauma menuturkan pengalaman hidup mereka, di samping tidak adanya jaminan perlindungan bagi para survivor untuk bertutur. Ruang berbagi adalah yang terpenting saat selama 30-an tahun mereka bungkam dan menenggelamkan ingatan untuk mengabdi pada pembangunan pariwisata budaya. Ruang berbagi itulah sebenarnya yang bisa dimediasi oleh para akademik dengan menuliskan penuturan ingatan dan jejak-jejak pembantaian massal 1965-1966 dengan etis, subtil, dan simbolik, tidak dengan vulgar yang justru akan membangkitkan trautamatik para survivor.
Akhirnya, saya akan terus bergulat untuk mengkonstruksi hasil penuturan para survivor dan saksi sejarah yang begitu rumit, kompleks, sebagai bagian dari rangkaian subjektifitas narasi dengan versi, bahasa, dan emosinya masing-masing. Saya menyakinkan diri, seperti keyakinan Urvashi Butalia mengenai ingatan dan pergulatan tentang “kebenaran” dan “kemurnian” ingatan. Ia menulis:

Ingatan tidak pernah ‘murni’ atau ‘langsung’, tanpa mediasi. Begitu banyak hal bergantung pada siapakah yang mengingat, kapan, bersama siapa, bahkan kepada siapa, dan bagaimana. Akan tetapi bagiku, cara orang memilih untuk mengingat suatu kejadian, suatu sejarah, sekurang-kurangnya sama penting dengan apa yang disebut sebagai ‘fakta’ sejarah itu, karena, bagaimanapun juga, fakta sejarah itu bukan sesuatu yang yang terberikan dan niscaya sudah serba jelas dengan sendirinya; alih-alih, ‘fakta’ itu pun adalah tafsir, sebagai yang diingat atau dicatat oleh individu ini atau itu…”[27]



Memanusiakan Manusia: Etika Politik dan Memori

Sejarah politik manusia Bali jauh sebelum jargon Ajeg Bali, mengokohkan kebudayaan Bali dengan “Manusia Bali yang Berbudaya” seperti sekarang ini, adalah sejarah kelam kekerasan dan pelenyapan pada Tragedi “65 di bumi para dewa ini. Jauh sebelumnya, pelenyapan manusia Bali juga terjadi dalam kekerasan zaman kerajaan dan perang melawan kolonial hingga Puputan, sampai titik darah penghabisan.[28]
Khusus mengenai ingatan Tragedi ’65 inilah yang membuat ingatan seorang perempuan tua, seorang nenek, Odah Mungkreg, menerawang jauh di tahun-tahun mencekam bagi manusia Bali di tahun 1965-1966. Ia melihat manusia ninja pada zamannya bernama tameng (satuan milisi yang dilatih tentara untuk membasmi sampai ke akar-akarnya manusia Bali yang dituduh anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia).
Odah Mungkreg adalah istri dari tokoh PNI di desanya. Saat seruan gerakan mengikis habis komunis sampai ke akar-akarnya dicanangkan, rumahnya menjadi markas barisan tameng dan massa barisan “Pengganyangan Komunis”. Setiap hari rumahnya ramai dengan pasukan tameng berseragam serba hitam bersenjata samurai, klewang. Sore hari mereka siap-siap untuk menghabiskan jatah (daftar bagian orang yang harus dibunuh) di desa tetangga. Tengah malam mereka datang dan acara berlanjut dengan pesta lawar (makanan tradisi Bali dari daging babi) dan arak. Odah Mungkreg menyaksikan saat para temang ini datang dengan berbaju hitam, klewang terhunus dan tangan yang berlumuran darah. [29]
Wajah beringas manusia Bali saat membunuh saudaranya sendiri menyisakan kepedihan, tangis, kehilangan, dendam, dan ingatan yang tak terlupakan. Sejarah kelam manusia Bali itu hadir dalam bilik-bilik ingatan para saksi sejarah yang puluhan tahun terbungkam. Suara-suara senyap mereka adalah harta berharga untuk membongkar konstruksi politik kebudayaan Bali yang hingga kini terwarisi. Apakah manusia Bali benar-benar menjadi “manusia” saat Tragedi ’65? Atau rasa humanisme itu telah terkoyak habis dengan amuk kemarahan, dendam yang menyebabkan manusia tidak lebih dari seorang binatang yang biadab? Di mana rasa kemanusiaan manusia Bali yang selalu dikesankan “manis”, sopan-santun, ramah dan murah senyum itu? Sungguh menyesakkan pertanyaan itu
Tapi para survivor, anak-anak, dan keluarga mereka memendam segudang ingatan yang tidak mungkin dituturkan pada ruang-ruang publik, pergaulan sehari-hari mereka di desa adat dengan ritual dan warga yang lain. Stigma komunis menjadi hantu yang harus dilenyapkan dengan kerukunan dan kedamaian dengan budaya dan pariwisata. Narasi trauma para survivor dan keluarga yang ditinggalkan tersimpan rapi dalam selimut “Jangan mengungkit-ngungkit lagi masa lalu yang kelam” yang dioperasikan dengan sangat apik oleh trio sakti - budaya, pariwisata, dan kuasa.
Para Survivor dan keluarga yang ditinggalkan akibat Tragedi ’65 hidup dalam ruang bersama dengan “pembantai”, para manusia Bali yang tangannya berlumuran darah. Ingatan kekejaman, pembantaian yang dilakukan oleh tetangga satu desa, dan kini hidup pada ruang yang sama tidak akan pernah dilupakan. Dendam adalah harga yang harus dibayar dan menjadi nyawa dari lingkaran kekerasan yang tak akan pernah terhenti di Bali. Setiap keluarga akan menceritakan bagaimana ayah, ibu, kakek, nenek, saudara, kekasih mereka dihabisi oleh tetangga sebelah rumah, atau saudara satu banjar. Ruang kekerasan dan dendam begitu akrab pada diri manusia Bali. Musuh, lawan mereka kini hidup berdampingan dengan mereka dan melihat tingkah polahnya setiap hari. Dendam itu akan terwariskan pada anak, cucu yang tak akan pernah terhenti.
Para survivor dan keluarga yang ditinggalkan masih dicap sebagai borok titisan komunis yang disisihkan, didiskriminasikan, dan tidak dianggap sebagai manusia normal. Mereka (para survivor dan keluarga yang ditinggalkan) tidak dimanusiakan lagi. Mereka dianggap sebagai “sampah dan musuh masyarakat”.
Para “pembantai” menikmati situasi ini dan sama sekali tidak ada tanggungjawab untuk membangun relasi, berhubungan, dan berbagi pada keluarga survivor dan keluarga yang ditinggalkan. Ini memang sulit dilakukan; menuturkan Tragedi ’65 pada generasi berikutnya, apalagi mengakui posisi dan peran saat itu. Tapi, ruang berbagi dan bertutur tetap harus dibangun, dan pertemuan untuk berkisah, berturur antara para survivor dan keluarga yang ditinggalkan dengan para “pembantai” harus tetap dilakukan, meskipun ini sangat-sangat sulit. Dalam pertemuan itu, ada endapan dendam, emosi, atau keterkejutan, kemunafikan, kebanggaan, bahkan mungkin juga penyesalan dari para “pembantai”. Sungguh sulit membayangkannya itu terjadi.
Tapi, usaha itu pernah dilakukan oleh Degung Santikarma, seorang antropolog yang menekuni studi kekerasan Tragedi “65 di Bali, seorang anak yang ayahnya “diambil” di rumah dan tidak pernah kembali pada hari-hari mencekam penculikan orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI, 1965-1966 di Bali. Ia menulis detail situasi dan kenangan saat bertemu dengan seseorang yang ia ketahui sebagai tameng, salah seorang yang menjadi “sutradara” kematian ayahnya.

Dengan sedikit jantung berdebar saya coba mengetuk pintu dan dibuka oleh Pak Wayan dengan terkejut melihat wajah saya. Setelah dipersilahkan meneguk suguhan kopi dan hidangan ringan yang disediakan, pembicaraan kami dimulai dengan basa-basi ringan tentang musim kemarau panjang, kesehatan anak-anak, mahalnya biaya sekolah dan upacara di pura desa. Tetapi ketika obrolan kami menukik pada persoalan 1965, suasana berubah menjadi formal dan berjarak. “Yang saya lakukan pada waktu ‘Gestok’ itu tidak banyak, hanya membantu aparat untuk membawa mereka yang dianggap partisan partai yang bergambar “palu arit,” Pak Wayan mengatakan. “Daftar nama mereka yang dianggap terlibat sudah ada pada map yang dibawa oleh oknum berseragam. Jadi, saya hanya menunjukkan rumah pribadi para simpatisan. Ini enteng karena mereka kebetulan para tetangga dan teman sepermainan. Begitu saya temukan, saya antar langsung ke kantor camat, hanya itu saja, tidak lebih dan tidak kurang.” Pak Wayan bicara dengan tegas, tetapi badannya seperti mengkhianati apa yang terucap. Tangannya gemetar, tubuhnya berkeringat dan betisnya, tanpa sadar, menabrak kaki meja sampai cangkir kopi tertumpah. Pak Wayan kukuh bahwa dia tidak sadar bahwa ajakan ke kantor camat merupakan pertemuan yang terakhir dengan tetangganya. “Itu memang kehendak negara,” ujar dia dengan raut muka sedih sambil menggeleng-gelengkan kepala. Suasana menjadi hening dan sepi, sekali kali terdengar sela suara cicak yang seolah-olah menjadi saksi. “Sudahlah, itu masa lalu, mari kita lupakan,” dia menyambung. “Saya setuju dengan rekonsiliasi agar kesalahan yang sudah lewat tidak terulang lagi. Saya ingin percaya pada Pak Wayan. Saya ingin percaya bahwa kita bisa belajar sesuatu dari kesalahan kita semua. Tetapi kepercayaan itu duduk di atas landasan yang sangat keropos. Ketika mau pamit pulang, Pak Wayan sempat menunjukkan foto dirinya yang terpajang di kamar tamu dengan seragam pakaian pejabat, jas, dasi, dan berkopiah ketika bersalaman dengan posisi badan merunduk dengan bapak bupati yang melantiknya. “Ini potret kenangan waktun saya jadi anggota DPR sekitar tahun 70’an,” katanya dengan senyum bangga, seolah-olah menegaskan bahwa kalau sekarang dia bertanya-tanya pada diri, dulu sama sekali tak terbersit keragu-raguan[30]


Cara orang mengingat dan melupakan adalah makna tersendiri, begitu pula maksud di balik keengganannya orang mengingat. Degung Santikarma ingin menunjukkan bagaimana landasan saling memaafkan, ide untuk berekonsiliasi, bisa terwujud jika setiap manusianya masih berlindung di balik tomeng kebanggaan atau perintah negara, padahal dia sendiri yang melakukan eksekusi. Bagaimana bisa memanusiakan manusia (Bali) yang berlumuran darah ini, jika ia sendiri tidak mengakuinya, menyadarinya apalagi menyesalinya. Bagaimana memanusiakan manusia orang seperti ini?
Para pemenang, “pelaku”, mungkin akan balik menyerang dengan menyatakan, saat PKI berkuasa mereka menderita. Mereka juga tertindas oleh PKI. Maka kalau mereka tidak membunuh orang-orang PKI, jika partai palu arit ini menang, mereka yang akan dibunuh. Politik memori para penjagal inilah yang menguasai setiap gugatan terhadap pembantaian besar-besaran orang yang dicap komunis di Indonesia. Tapi, saat rezim otoritarian orde baru tumbang, memori yang terbungkam dari para “korban” sejarah mulai bangkit menyeruak menghadirkan “kebenaran” baru menentang “kebenaran” awal yang ditancapkan orde baru. Memang, pengungkapan kebenaran dengan memberikan suara dan menelisik ingatan para “korban”, mesti dilakukan untuk memberikan perspektif lain dari sejarah yang hegemonik dan monolitik seperti direproduksi oleh negara dan kekuasaannya. Memanusiakan manusia dilakukan dengan memberikan ruang bertutur pada mereka, melacak bagaimana mereka mengingat, melupakan dan menyimpan ingatan itu pada bilik-bilik bernama kepedihan, emosi, kisah perjuangan hidup dan lainnya.
Tapi memanusiakan manusia selayaknya tidak berhenti tidak pada “pengungkapan kebenaran” atau politik memori dari para “korban” dan “pelaku” dalam Tragedi ’65, tapi lebih jauh daripada itu. Politik memori dalam menghadapi pertarungan memori ini tidak terjebak menjadi melokalisir ingatan menjadi “korban” dan “pelaku”. Dua warisan ingatan ini memang berbeda dan tidak bisa dibohongi di dalamnya ada kemunafikan, pengkhianatan yang tercermin jelas dari gerak-gerik Pak Wayan, yang masih bangga menjadi pejabat setelah membantai tetangganya. Ia menikmati hasil kerja kerasnya sebagai pembantai, untuk kemudian berlindung di balik kebesaran namanya setelah menjadi tokoh penting sebagai anggota DPR atas jasa membasmi tokoh-tokoh komunis di desa, yang juga tetangganya.
Degung Santikarma menaruh rasa curiga memanusiakan manusia, ide untuk berekonsiliasi, dengan landasan hati yang keropos, seperti kemunafikan yang ditunjukkan oleh Pak Wayan. Tapi, untuk ke depan, memanusiakan manusia semestinya lebih jauh beranjak dari rasa curiga pada dua warisan memori yang berbenturan. Ini adalah ancaman laten dan hambatan yang serius untuk langkah memanusiakan manusia. Memang, memberi suara dan ruang bertutur bagi para “korban” dan keluarganya adalah terapi untuk kembali memanusiakan mereka, tidak menganggapnya lagi sebagai “tidak bersih lingkungan” atau borok komunis yang mengganggu citra harmoni di Bali.
Tapi, ada baiknya untuk membongkar kebekuan politik memori itu, rasa kecurigaan antara ingatan “korban” dan pelaku” lewat tindakan etis, dengan sebuah etika politik. Ini sebenarnya sebuah peringatan untuk para “pelaku” yang menanggung beban ingatan yang berat saat jejak tangannya penuh umuran darah. Tindakan etis adalah mengingat perbuatan kita yang menyebabkan penderitaan orang lain. Para “pembantai” tentu menyimpan segudang ingatan, traumatik, dan (semoga) rasa menyesal yang dalam. Ingatan yang terus tersimpan adalah sebuah beban, penderitaan yang terus akan menghantui kehidupan para tameng ini.
Untuk itulah, tindakan etis,[31] sebuah etika politik dari ingatan, menggugah kita untuk melakukan “Happiness of the other, Perfection of the selft”, membuat orang lain bahagia dan membuat diri kita menjadi perfect, lepas dari beban ingatan rasa bersalah, trauma yang selalu menghantui. Pada titik ini moral dan etika dari narasi memberikan nilai penting untuk memanusiakan kembali manusia, manusia yang perfect telah terlepas dari kungkungan ingatan rasa bersalah yang selalu meneror. Para pelaku, manusia Bali yang tangannya berlumuran darah, sungguh sulit melakukan tindakan ini? Tapi itulah ujian dan kebesaran untuk mengakui kesalahan yang membuat penderitaan orang lain. Saat itulah kita bisa tegak dan dengan berlapang dada untuk meretas berekonsiliasi, memanusiakan manusia, tanpa rasa curiga dan landasan kemanusiaan yang keropos.

[1] Geoffrey Robinson, The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali, Chapter 12 Myth and Reality in Bali, (Cornell : Cornell University Press, 1995). hlm.313
[2] Urvashi Butalia, Sisi Balik Senyap, The Other Side of Silence, (Yogyakarta; Indonesia Tera, 2002), hlm. 13.
[3] Rakyat Bali lebih akrab menggunakan kata Gestok daripada G30S untuk menyebut tragedi berdarah pembunuhan para jendral dan dilanjutkan dengan pembantaian massal 1965-1966, dan pengiriman tahanan politik ke Pulau Buru.
[4] Soe Hok Gie, dalam satu essay-nya menjelaskan jumlah manusia Bali yang tewas dalam “penyembelihan” massal itu adalah, Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali dalam Zaman Peralihan, (Yogyakarta: Bentang 1995), hlm. 161-169.
[5] Saya mendapatkan inspirasi dari karya Urvashi Butalia, op.cit. Juga wawancaranya yang sangat inspiratif di Kompas, 14 September 2003.
[6] Urvashi Butalia, op.cit
[7] Urvashi dalam studinya ini berusaha untuk menggali kisah-kisah dari perempuan dan anak-anak yang menjadi saksi dari kepedihan Pemisahan India dan Pakistan. Dari cerita-cerita tersebut, Urvashi menunjukkan bahwa subjektifitas dalam kisah tersebut sangat kental, dan pewarisan dari cerita itu tidak bias dilepaskan dari subjektifitas manusia yang mengisahkannya. Karena itulah The Other Side of Silence tidak berusaha untuk objektif dalam memandang kisah-kisah tersebut.
[8] Misalkan saja studi-studi tentang kelayakan pariwisata dan pembangunan yang menjamur dilakukan oleh lembaga penelitian universitas-universitas di Bali tahun 1980-an dan 1990-an. Juga studi tentang AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) yang melibatkan akademisi dari universitas untuk mensahkan proyek-proyek pembangunan pariwisata yang ternyata akhirnya bermasalah seperti Bakrie Nirwana Resort (BNR), Reklamasi Pulau Serangan, Bali Pecatu Graha (BPG), dan proyek lainnya.
[9] Degung Santikarma melukiskan dengan tajam bahwa antropologi juga bisa diuangkan lewat industri pariwisata. Kalau di zaman kolonial orang asing datang ke Bali untuk transaksi rempah-rempah dan budak, di zaman modern mereka datang membeli komoditas yang disebut kebudayaan dan para antropolog bisa berfungsi sebagai juragannya. Lebih lengkap lihat, Pentas Antropologi di Indonesia, Bentara Kompas, 7 Juli 2004.
[10] Relasi antropologi dengan kekuasaan (pariwisata budaya) terlihat jelas saat booming industri ini di Bali tahun 1980-an. Jurusan Antropologi di Fakultas Sastra Universitas Udayana menjadi sumber dari lahirnya para “antropolog-antropolog pariwisata ini”. Mereka biasanya sibuk dengan proyek-proyek penelitian dari pemerintah dengan dampak pariwisata terhadap kehidupan masyarakat Bali.
[11] John Roosa, Ayu ratih dan Hilmar Parid, Sejarah Lisan dan Ingatan Sosial, Pengantar buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia, 2004, hal.2.
[12] Urvashi Butalia, op.cit
[13] Seperti juga yang menjadi pertanyaan Urvashi Butalia, Ibid., hlm. 15-16.
[14] Film kolosal produksi pemerintah orde baru dengan sutradara Arifin C Noer. Dalam film propaganda negara ini terlihat pengheroan, penokohan dan mempahlawankan Soeharto sebagai panglima Kostrad yang mengambil alih keamanan dan melakukan pembersihan terhadap partai komunis di Indonesia, termasuk dengan membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Setiap tanggal 30 September malam seluruh stasiun TV menanyangkan film berdurasi hampir empat jam ini.
[15] Pendidikan sejarah adalah salah satu cara dari negara untuk “menyeragamkan” ingatan sosial masyarakat melalui generasi-generasi berikutnya. Lewat buku PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) dan PMP (Pendidikan Moral Pancasila), setiap generasi diajarkan bagaimana mewaspadai bahaya laten komunis. Belum lagi penataran P4 (Pendidikan, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila) setiap masuk Sekolah Menegah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi (PT). Generasi orde baru lahir dari mesin politik propaganda ini, membuat generasi yang apolitis dan pragmatis.
[16] Degung Santikarma, Kisah Bali dengan Keakraban dalam Kekerasan, Bentara Kompas, 1 September 2000.
[17] Lebih lengkap lihat Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI (Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia 1942-1984), (Jakarta: Balai Pustaka, 1992).
[18] Urvashi Butalia, op.cit. hlm.11.
[19] Adalah ungkapan yang pertama saya dengar saat awal-awal demonstrasi mahasiswa 1997-1998, saat saya menginjakkan kaki di bangku perguruan tinggi. Pernyataan ini diucapan seorang ibu yang heran melihat anaknya ikut demontrasi “Aksi Keprihatian Rakyat dan Mahasiswa ” di kampus Universitas Udayana, Bali akhir 1997.
[20] Bagian buku ini yang membahasa kuburan massal adalah Bab V, Kuburan Massal : Monumen yang Dibisukan (Beberapa Catatan Lapangan). Versi lainnya ada dalam I NgurahSuryawan, Mass Grave Fieldwork, halaman Bentara Kompas, 2 Juli 2005.
[21] Diungkapkan oleh Andreas Huyssen, filsuf dari Jerman dan Degung Santikarma dalam Monumen, Dokumen dan Kekerasan Massal (Politik Representasi Kekerasan di Bali), Kompas, 1 Agustus 2003.
[22] Diskusi panjang dan intensif dengan kawan-kawan Simposium Sabtu Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Bapak St. Sunardi, Mei 2005. Etika politik adalah landasan awal sebagai panduan untuk melakukan kegiatan politik—dalam hal ini penulisan tragedy kekerasan—yang empatik dan manusiawi, humanistic, dan berlandaskan pada moralitas yang kuat.
[23] Diskusi dengan kawan-kawan yang berasal dari Bali, yang melanjutkan studi di Universitas Atmajaya dan Sanata Dharma di Yogyakarta, Mei 2005.
[24] Buku yang dimaksud adalah karya Robert Cribb, Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, (Yogyakarta: MataBangsa dan Syarikat Indonesia, 2003).
[25] Pertanyaan Gung Kak ini saya dapatkan dari cerita seorang kawan Bali di Yogyakarta, Mei 2005.
[26] Lihat misalnya argument yang dibangun oleh Degung Santikarma, op.cit.
[27]Urvashi Butalia, op.cit, hal. 13.
[28] Lebih lengkap tentang uraian sejarah (politik) kekerasan di Bali akan diuraikan di Bab VI Manusia dengan Darah dan Air Mata (Geneologi Politik Kekerasan di Bali) di buku ini.
[29] Cerita Odah Mungkreg di desa saya, yang saya dengar awal tahun 2002 adalah pemicu awal ketertarikan saya melakukan studi tentang Tragedi Gestok “65 di Bali dan cerita-cerita yang mengelilinginya. Cerita Odah Mungkreg seakan menjadi pembuka saya untuk menggali kembali ingatan para survivor dan keluarganya, melalui serangkaian penuturan dan wawancara lisan yang saya lakukan. Untuk itu, saya sangat berterimakasih kepada bapak-bapak para survivor dan saksi sejarah Tragedi ’65 di Bali, yang dengan terbuka bersedia saya wawancarai dan bersedia menuturkan kepedihan dan perjuangan hidupnya pada saya. Sebuah kehormatan yang tiada nilainya bagi saya. Buat Bapak Sutayasa (alm), sujud bakti dan hormat saya pada beliau. Saat saya menyelesaikan naskah buku ini serta draft naskah Memecah Senyap (Penuturan SurvivorTragedi ’65 di Bali) di Yogyakarta, beliau terserang penyakit jantung dan dipanggil untuk selama-lamanya oleh Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa Juni 2005. Naskah buku ini dan Memecah Senyap adalah penghargaan untuk beliau, yang memberi pelajaran buat kita semua bagaimana tegar dan kukuhnya prinsip sebagai seorang intelektual (beliau seorang arkeolog) yang selalu diturukan pada saya. Tapi, sebuah pesan pendek dari seorang survivor Tragedi ’65 di Bali, dari kawan karib Bapak Sutayasa, meneguhkan semangat saya: “Terimakasih. Mari teruskan perjuangan untuk masa depan yang lebih baik.” (24/06/2005. 09:52:43)
[30] Degung Santikarma, Kehilangan Rekonsiliasi, Kompas 28 September 2003.
[31] Bahan dari bagian ini banyak diambil kelas Kekerasan dan Politik Ingatan di Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan dosen pengampu Dr. Budiawan, pada 8, 15, dan 29 April 2005.

1 komentar:

soap4fun mengatakan...

bagus mas kisah sejarah terpendam ini.. saya pernah baca juga buku urvashi butalia.