Who am I

Who am I

Senin, 14 April 2008

Lorong Gelap Ingatan

Lorong Gelap Ingatan
(Etnografi Kekerasan dan Kesaksian Tameng)
[1]

I Ngurah Suryawan

“Men PKI menang kal guling nase.“
“Nyen jelma barak dini? Matiang!!!“

Perayaan tumpek landep, hari ritual Hindu Bali untuk benda-benda pusaka, dilakoni Komang dengan membersihkan benda-benda warisan leluhurnya sejak pagi. Ia mengumpulkan benda itu dari prapen, tempat pembuatan senjata dan benda-benda dari besi, warisan keluarga besarnya yang terawat bersih dengan cat tembok sekelilingnya berwarna merah. Jejeran senjata dan benda-benda bersejarah itu ia turunkan, dilap bersih menggunakan minyak kelapa. Setelah itu semua benda akan diupacarai di taman, sebuah pusat mata air yang disakralkan dekat rumahnya. Menginjak siang hari, Komang menyiapkan sesaji dan membawa benda-benda itu ke taman.
Ada yang tidak biasa pada perayaan tumpek landep kali ini. Komang hafal betul senjata dan benda-benda warisan leluhur yang harus diupacarainya. Tapi kali ini, ia melihat sebuah benda baru yang terselip diantara kain kasa, kain putih untuk membungkus mayat saat upacara pengabenan. Benda itu terbungkus sobekan kain putih yang sudah lusuh, dengan warna kehitam-hitaman dari bercak darah yang sudah terawetkan oleh waktu. Komang membuka balutan kain kasa itu dan ia menyaksikan sebuah klewang, samurai panjang, terbungkus di dalam tempat kayu panjang dengan patra, ukiran-ukiran Bali, bercat hitam. Sungguh panjang klewang itu. Rasa penasaran Komang timbul, dan tanpa ragu ia hunus klewang itu. Ia tercengang, darimana asal benda ini? Apakah ini peninggalan leluhurnya? Untuk apa klewang ini? Apa karena ia keturunan seorang empu, pembuat keris dan senjata-senjata, ia harus mewariskan sebuah klewang yang sungguh mengagumkan ini? Kalau ini memang warisan leluhur, kenapa tidak disungsung, disembah sebagai senjata yang disucikan?
Rasa penasaran dan segudang pertanyaan itu ia tumpahkan pada neneknya. Sang nenekpun terkejut saat Komang menunjukkan klewang tersebut. “Barang tenget, de ampah,” (Barang sakral jangan sembarangan membawanya), ujar sang nenek mengambil klewang secara tiba-tiba dari tangan Komang. Selanjutnya, klewang itu kembali dibawa ke prapen, bahkan oleh nenek dihaturkan canang, sesaji, untuk memohon maaf.
Nenek Komang oleh masyarakat sekitar akrab dipanggil Odah Mangku karena memang ia adalah seorang pemangku, pemimpin upacara-upacara ritual keagamaaan Hindu untuk melanjutkan suaminya yang telah meninggal tahun 1980-an. Ketut Darta, kakek Komang adalah tokoh masyarakat terpandang di desa, menjadi veteran pejuang, dan menjadi pemimpin PNI (Partai Nasionalis Indonesia) saat tahun 1960-an di desa. Orang-orang di desa Komang sering menyebutkan Zaman Gestok (Gerakan 1 Oktober 1965) itu sebagai Gumi Wug, Gumi Genting (bumi hancur, bumi gawat). Atau dalam istilah tetua di desa untuk menunjukkan gawatnya situasi saat itu adalah Gumi SOB dari pengertian Staat van Oorlong en Beleg (State of War and Siege).
Saat seruan gerakan mengikis habis komunis sampai ke akar-akarnya dicanangkan akhir November 1965, rumah yang Komang tempati kini menjadi markas barisan tameng dan massa Front Pancasila untuk “Pengganyangan Komunis”. Ini tidak lepas dari posisi kakeknya sebagai tokoh PNI. Setiap hari rumahnya ramai dengan pasukan tameng, milisi sipil dari massa PNI dan musuh-musuh PKI. Mereka berseragam serba hitam, berbaret merah bersenjata klewang. Sore hari mereka berkumpul di rumah Komang dan bersiap untuk menghabiskan jatah (daftar bagian orang yang harus dibunuh) di desa tetangga. Sebelum eksekusi dilakukan, massa akan melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI. Tengah malam mereka datang dan acara berlanjut dengan pesta lawar (makanan tradisi Bali dari daging babi) dan arak. Odah Mangku menyaksikan saat para temang ini datang dengan berbaju hitam, klewang terhunus dengan tangan yang berlumuran darah.
Semua barisan massa ini dikoordinir oleh kakek Komang yang selalu sibuk menghadiri rapat-rapat tokoh PNI di berbagai desa. Setiap bepergian, ia selalu dikawal oleh seorang tameng dan selalu membawa sebuah klewang yang dianggapnya sangat bertuah menyelamatkan nyawanya dalam berbagai perkelahian antar geng di desa. Pengawal setia kakek Komang itu adalah Pekak, kekek Pegeg, yang tanpa sadar ditemui Komang di sebuah upacara keagamaan dan bercerita panjang lebar tentang riwayat Gestok padanya. Komang kemudian tersadar bahwa klewang yang sering dibersihkannya saat Tumpek Landep itu adalah senjata kekeknya saat hari-hari penculikan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh terlibat PKI. Di klewang itu nasib puluhan nyawa manusia berakhir. Pantas saja neneknya mengkeramatkan klewang itu sepeninggal kepergian kakek Komang.
Kak Pegeg juga yang menuturkan pada Komang bagaimana cikal bakal pembunuhan orang-orang yang dituduh komunis di desanya. Kak Pegeg tahu betul karena ia sering mengikuti rapat-rapat massa PNI dan tentara untuk menculik dan membunuh orang-orang komunis. Komang jadi terkejut karena Tragedi 65 pembunuhan massal orang-orang yang dituduh komunis melibatkan keluarga besarnya, yaitu perselisihan antara saudara, yang melibatkan Ketut Darta, kakek Komang dan saudaranya Wayan Warda. Rumah mereka berdua saling berhadapan dan sama-sama menjadi tokoh partai di desa, juga sama-sama memasang papan sekretariat PNI dan PKI.
Men PKI menang kal guling nase, kalau PKI menang akan kita guling dia, adalah kata-kata Wayan Warda yang tidak dilupakan Kak Pegeg. Kata-kata itulah yang selalu keluar darinya saat berada di depan massa PKI. Ini untuk mengancam Ketut Darta dan pengikutnya dari PNI yang akan diperlakukan seperti babi, diguling. Pengikut PKI saat itu di desa Komang memang lebih banyak jumlahnya dari PNI. Banyak krama, warga, yang ikut PKI karena dijanjikan akan mendapatkan tanah tegalan, ladang untuk bertani. PKI nanti yang membagikan tanah-tanah itu. Janji itu tentu sangat menggugah masyarakat dan kemudian menjatuhkan pilihan mendukung setiap gerakan partai komunis nomor tiga terbesar di dunia saat tahun 1960an itu.
Kak Pegeg masih ingat, saat ada acara pelantikan dan ramai-ramai apel partai, Warda selalu memimpin massa untuk berkumpul dan berjalan bersama menuju tempat pertemuan partai. Di desanya Warda adalah tokoh menonjol dan diketahui aktif dalam kegiatan-kegiatan PKI. Tidak bisa yang membantah bahwa di tahun 1960-an itu, massa Warda di desa sangat banyak. Rintihan dan kesulitan rakyat dijawab dengan program dan pemihakan pada rakyat. Dan keyakinan untuk memenangkan persaingan melawan PNI dan partai lainnya dalam pemilihan umum adalah sebuah kewajaran.
Tapi angin kemudian berhembus tanpa terduga. Di rumah krama, warga desa yang memiliki radio-radio disesaki orang yang ingin mendengar ada sebuah berita tak terduga. Ada gerakan kudeta terhadap pemerintahan yang sah dengan membunuh jendral-jendral pada malam hari 30 September 1965 dan memasuki dini hari 1 Oktober 1965. Oleh Soeharto kemudian gerakan kudeta itu dinyatakan dilakukan oleh PKI, dan kemudian menyebutkan peristiwa itu sebagai G30S/PKI. Kekuasaan diambil alih Soeharto dengan melakukan pembubaran PKI dan menetapkannya sebagai partai terlarang di Indonesia. Setiap jengkal tanah di tanah air ini diperintahkan untuk mengganyang dan menumpas sampai ke akar-akarnya PKI dan para pengikutnya. Dan mulailah tahun-tahun kelam dalam sejarah di negeri ini, pembunuhan massal pada setiap manusia yang terkait atau dikait-kaitkan dengan PKI dan komunis. Hampir 500.000 hingga 1.000.000 nyawa (Cribb dan Robinson, 1990 dan 1995) “manusia-manusia merah“ habis di tangan saudaranya sendiri dalam apa yang disebut sebagai penyembelihan massal atau perang saudara di bumi pertiwi ini.
Kak Pegeg memastikan, hampir lima lembar carik kertas yang ada di tangan Ketut Darta berisi daftar nama orang-orang yang kene garis, terkena garis PKI untuk mati dan tercatat pernah terlibat dalam acara PKI dan organisasi-organisasi pendukungnya. Daftar nama itu diperolehnya dari catatan absensi kegiatan-kegiatan PKI ditambah dengan laporan masing-masing desa. Dari PNI, lawan politik PKI, juga mencatat siapa saja orang-orang yang pernah tersangkut dalam kegiatan PKI. Tapi Kak Pegeg yakin sebagian lagi dari orang-orang yang terbunuh dalam tahun 1965-1966 adalah korban dari pisuna, fitnah, sentimen dan masalah pribadi, tidak ada sangkut pautnya dengan PKI. Dari lima lembar carik kertas daftar nama itulah pedoman untuk melakukan penculikan dan pembunuhan. Di sinilah posisi sulit dialami Ketut Darta, kekek Komang. Di daftar itu tertera jelas nama kakaknya, Wayan Warda, yang jelas-jelas menjadi moncol, tokoh PKI di desa yang harus dibunuh.
Dari November 1965 hingga Februari 1966 adalah hari-hari mencekam di desa. Setiap hari hampir pasti ada rumah yang terbakar, orang-orang yang kehilangan anggota keluarganya. Ramai-ramai orang berkumpul di bale banjar, balai desa, dan hilir mudik truk pengangkut manusia yang berteriak, merintih, pasrah dan ketakutan yang amat sangat. Ratusan orang di desa, menurut cerita Kak Pegeg, mengungsi mencari perlindungan. Rumah-rumah mereka terbakar dan telah rata menjadi tanah. Kakek, suami, saudara mereka entah hilang kemana.
Kak Pegeg menjadi salah satu anggota dari barisan massa tameng PNI yang menyaksikan kejadian itu. Saat itu, barisan massa akan melakukan pengganyangan terhadap sebuah desa tetangga, yang hampir seluruh kramanya masuk PKI. Ratusan massa berteriak, mengacungkang klewang dan membakar seluruh rumah di desa tersebut. Sebelumnya para perempuan dan anak-anak diamankan di bale banjar, sementara barang-barang yang masih bisa diselematkan di kumpulkan. Massa tameng beringas dan menculik para laki-laki di desa tersebut. Ada yang dibunuh langsung di desa tersebut dan diangkut truk untuk dibunuh di tempat lain. Setelah massa tameng mengamuk, desa tersebut telah rata menjadi tanah.
Tanpa diduga, massa tameng bergerak ke arah desa Kak Pegeg dan Ketut Darta, kakek Komang. Massa yang beringas memaksa untuk melakukan pembakaran dan penculikan terhadap orang-orang yang telah didaftar terkait dengan PKI. “Nyen jelma barak dini? Matiang!!!“ (Siapa orang merah (PKI) di sini? Bunuh!!!), teriak massa seperti ditirukan Kak Pegeg. Ketut Darta dan Kak Pegeg yang ikut dalam rombongan itu pasang badan. Mereka melarang massa untuk membakar rumah dan menculik orang. Ketut Darta sebagai ketua PNI dan massa temeng di desa itu memastikan ia sendiri dan anggotanya yang akan melakukan pembersihan terhadap komunis. Massa menuruti pernyataan Ketut Darta dan kemudian bisa tenang karena kepercayaan padanya sebagai tokoh PNI di desa tersebut. Massa berlalu melewati desa Ketut Darta dengan tenang. Hampir semua membawa klewang berceceran darah yang diseret di jalan-jalan. Kadang massa akan mengacungkan klewang tersebut dan berteriak, “Matiang PKI“, Bunuh PKI.
Langkah apa yang dilakukan Ketut Darta untuk membersihkan orang-orang komunis di desa? Sementara salah satu yang sudah pasti kene garis mati adalah kakaknya sendiri dan puluhan teman-teman sepermainannya dulu? Situasi yang sulit. Tapi Ketut Darta punya cara untuk melakukannya. Ini pasti menyakitkan karena kehilangan saudara satu desa, tapi ia tidak bisa mengelak karena posisinya sebagai ketua PNI dan barisan tameng yang diberikan kepercayaan untuk membunuh dan mengikis habis PKI sampai ke akar-akarnya.
Kak Pegeg menceritakan, Ketut Darta pernah berkeluh padanya, “Nguding gumi dadi panes kene?“ (Kenapa bumi, suasana menjadi panas seperti ini?). Ketut Darta sendiri tidak yakin apa yang sedang terjadi saat itu, ketika massa begitu beringas membakar dan membunuh orang-orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI. Posisinya saat itu memang terhimpit. Alasan membunuh atau terbunuh adalah keputusan yang sangat menyakitkan baginya. Tapi, khusus untuk di desanya, ia tidak akan pernah mau menjadi penjagal dan menyaksikan pembunuhan saudara dan teman-temannya. Karena itulah saat penculikan dan pembunuhan orang-orang yang tersangkut PKI di desanya, ia selama dua hari menghilang dari rumahnya. Entah kemana.
Rumah Ketut Darta pada malam hari layaknya tempat pengungsian yang mencekam dan mendebarkan. Banyak masyarakat desa yang berlindung di rumahnya. Rumah mereka telah habis terbakar, dan bisa dipastikan suami, ayah, paman, atau saudara mereka telah hilang diculik oleh barisan tameng. Bahkan banyak orang yang merasa pernah ikut dalam kegiatan PKI berlindung di rumah Ketut Darta. Rumah empat bilik beratapkan alang-alang itu penuh sesak dengan tangis anak-anak, kebingungan ibu-ibu menanyakan suaminya, kecemasan dan kebisuan menghadapi teror pembunuhan yang berada di sekitar mereka.
Selama Ketut Darta berada di rumahnya mendengar cerita ibu-ibu yang kehilangan anggota keluarganya, tidak terjadi keributan di sekitar rumah apalagi penculikan-penculikan terhadap orang-orang tersangkut PKI yang bersembunyi di rumah tersebut. Penuturan Kak Pegeg, banyak massa tameng di daerah lain yang bertanya pada Ketut Darta, kenapa si A tidak dibunuh? Ia akan menjawabnya dengan tenang. Yang “diambil“ itu anggota-anggota PKI yang aktif, yang tidak aktif dan ikut-ikutan kita selamatkan, toh mereka juga saudara kita. Ketut Darta selain berpedoman pada daftar lima carik kertas, juga berhasil “memutihkan“ beberapa nama di daftar tersebut untuk ia selamatkan nyawanya, orang yang ikut-ikutan dan tidak terkenal menjadi tokoh partai di desa. Tapi ia tidak bisa mengelak saat kakaknya yang sudah dikenal menjadi tokoh PKI sudah dipastikan harus terbunuh, dan ia tidak bisa melawan keputusan itu. Kak Pegeg bercerita, banyak tetua di desa yang sekarang masih hidup, saat zaman Gestok bersujud, nitipang angkian, menitipkan nafas/nyawa pada Ketut Darta.
Dan baru beberapa jam sejak Ketut Darta dan Kak Pegeg meninggalkan rumah untuk berangkat rapat partai di desa lain, massa menyeruak masuk ke rumahnya menggeledah rumah dan mencari Wayan Warda yang telah diincar sejak lama. Kak Pegeg memastikan massa tameng di desa itu segan masuk saat Ketut Darta ada di rumah, padahal massa telah mengetahui bahwa Wayan Warda bersembunyi di dalamnya. Wayan Warda menyadari kondisinya terancam. Setelah adiknya pergi meninggalkan rumah, Warda menghilang pergi entah kemana. Dipastikan oleh Kak Pegeg ia telah dibunuh di desa tetangga oleh massa tameng yang telah lama mengincarnya.
Kenapa orang begitu sadis saling membunuh? Sebuah pertanyaan yang sampai kini tidak tuntas terjawab. Memang keputusan “pusat“ kekuasaan di Jakarta—Soeharto dan Angkatan Darat—untuk membumihanguskan dan menumpas PKI sampai ke akar-akarnya menjadi salah satu keputusan politik yang mempengaruhi pembunuhan. Pasukan RPKAD turun gunung melakukan aksi pembersihan di pulau Jawa dan Bali. Tapi sebelum itu, telah terjadi ketegangan, pertarungan politik di tingkat lokal, yang melibatkan subyektifitas lokal, termasuk di dalamnya konflik ekonomi, perebutan tanah dalam undang-undang land reform, perebutan pengaruh politik melalui aksi-aksi saling provokasi antar partai-partai politik, terutama PKI dan PNI. Juga ketegangan kelas sosial buruh tani dengan kelas menengah pemilik tanah, pedagang dan pengusaha, dan konflik status serta kasta dalam sistem ritual dan kepercayaan Hindu Bali yang rumit. Kompleksitas subyektifitas lokal ini berelasi dan bertarung dalam beragam kontes dan panggung-panggung ketegangan politik tahun 1960-an, hingga mencapai puncaknya tahun 1965-1966.
Satu hal penting selain pengaruh kerumitan subyektifitas lokal tersebut adalah kondisi ekonomi. Di Bali, sejak tahun 1950-an, kondisi ekonomi memburuk. Harga beras mahal sehingga kelaparan dan kemiskinan melekat dalam kehidupan masyarakat Bali. Ditambah lagi di tahun 1963, Gunung Agung, gunung tertinggi dan disucikan di Bali meletus dan menelan korban 1.500 orang, merusak ribuan hektar lahan, dan membuat 75.000 orang menyelamatkan diri ke daerah-daerah terdekat. Juga terjadi gangguan hama tikus dan penurunan panen antara tahun 1962 dan 1965 (Geoffry Robinson, 1995).
Ben Anderson dalam kesaksiannya tentang pembantaian massal 1965-1966 menjelaskan salah satu faktor utamanya adalah keadaan ekonomi. Tahun 1961-1962, inflasi melejit begitu tinggi, sehingga harga barang-barang menjulang berlipat ganda. Keadaan ekonomi dalam ketidakpastian sehingga banyak yang gelisah dan nasib yang tidak menentu. Kemudian ada kemiskinan yang terjadi luar biasa hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Ben menuturkan, waktu ia jalan-jalan di Yogya-Solo, banyak orang yang gelaparan di pinggir jalan, orang yang mati karena busung lapar (Baskara T. Wardaya, SJ, 2001). Situasi ketimpangan ekonomi ini membawa angin segar pada PKI untuk menanamkan pengaruhnya, dengan janji dan aksi perjuangan untuk membela rakyat miskin. Perlahan tapi pasti terbukti, dukungan rakyat pada PKI semakin besar.
Kini, setelah hampir 40 tahun tragedi G30S, pembantaian massal 1965-1966 terhadap orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI, dan pengiriman tahanan politik ke Pulau Buru, celah apa yang kita lihat untuk memperbaiki hubungan persaudaraan kita di negara ini? Penuturan dan “pengakuan“ Kak Pegeg terasa pahit dan menyakitkan untuk didengar oleh para survivor Peristiwa 1965 dan keluarga korban yang ditinggalkan. Tapi “pengakuan“ itu menjadi sangat penting untuk mengungkap kebenaran dari perspektif “pelaku“ bahwa telah terjadi pembantaian massal pasca G30S. Yang melakukannya dan mengotakinya sesama saudara sendiri, tetangga sebelah rumah, bahkan saudara sendiri seperti yang dialami Ketut Darta dan Wayan Warda. Semuanya kini masih melekat dan menjadi ingatan, kecurigaaan, dan dendam yang menjadi latar belakang ketegangan ekonomi politik dan sosial kebudayaan, khususnya di Bali.
Ingatan Kak Pegeg adalah sebuah versi lain dari perspektif “pelaku“ Peristiwa 1965. Banyak “pelaku“ atau orang-orang yang melakukan eksekusi, pembantaian 1965-1966 kini bungkam dan menutup rapat sejarah “kemenangannya“ di tahun 1965. Bahkan kini masih bangga bercerita tentang aksinya saat melakukan pembantaian dan kemudian menjadi pejabat di pemerintahan daerah saat rezim orde baru berkuasa. Para pelaku ini berlindung dibalik “melaksanakan perintah dan menjalankan tugas“. Sangat disayangkan, tidak ada penyesalan sama sekali menghilangkan nyawa seseorang hanya karena ia “komunis“ dan “di-PKI-kan“.
Versi lainnya adalah nasib dari para survivor dan keluarga korban yang ratusan ribu jumlahnya di negeri ini. Selama 30 tahun lebih, para survivor dan keluarga korban terbungkam, menjadi warga negara kelas dua, menyandang stigma dan diskrimanasi politik sebagai keturunan komunis yang harus selalau “diwaspadai“. Mereka secara menyakitkan harus menerima kehilangan orang-orang yang mereka cintai, dan ingatan kejadian “pengambilan“ anggota keluarga mereka membekas hingga kini. Belum lagi para tahanan politik yang harus dipenjara puluhan tahun tanpa tahu kesalahan mereka dan tidak adanya pengadilan yang jelas. Suara-suara “dikalahkan“ oleh Soeharto dan rezim otoritarian orde baru ini sepantasnya mendapatkan ruang untuk bertutur, dan membagi sejarah personal pengalaman hidup mereka pada publik. Cerita apa pun yang muncul dari komentar orang yang selamat, itu bukanlah penyimpangan dari ‘kebenaran’ melainkan bagian dari kebenaran dalam sesuatu versi tertentu. Kefiktifan dalam kesaksian tidak ada sangkut-pautnya dengan perbantahan mengenai fakta, melainkan merupakan varian yang tak terelakkan dalam mempersepsikan dan merepresentasikan fakta-fakta ini, saksi per saksi, bahasa per bahasa, budaya per budaya (James Young dalam Urvashi Butalia, 2002).
Meretas jalan rekonsiliasi adalah meletakkan bagian versi-versi kebenaran itu. Tapi satu yang pasti, jalan rekonsiliasi ditempuh dengan sebuah etika politik untuk mengungkap kebenaran, sebuah kejujuran dan keterbukaan untuk menuturkan apa yang terjadi di tahun-tahun yang hilang dalam sejarah di republik ini. Landasan rekonsiliasi dibangun atas dasar yang kuat untuk menggugah rasa kemanusiaan kita, tidak dengan landasan yang keropos dengan kecurigaan dan kebanggaan atas “kemenangan” sejarah masa lampau tanpa penyesalan sama sekali.
Etika politik rekonsiliasi adalah memanusiakan manusia yang masih berkutat dengan kepentingan pribadinya sebagai “pelaku” dan “korban”. Saatnya kita melihat bagaimana cara kita untuk memperbaiki “kesemuan” hubungan sosial kita yang harmonis. Saat itulah kita bisa tegak dan dengan berlapang dada untuk meretas berekonsiliasi, memanusiakan manusia, tanpa rasa curiga dan landasan kemanusiaan yang keropos.


[1] Versi awal naskah ini adalah sebuah essay panjang saya berjudul, Tak Lekang Terbayang Klewang, tentang kesaksian dari catatan lapangan awal saya tentang pergulatan ingatan seorang tameng di Bali. Beberapa bagiannya saya tuliskan pada skripsi saya, Bertutut Di Balik Senyap (Studi Antropologi Kekerasan Pembantaian Massal Tragedi 1965 di Kabupaten Jembrana, Bali), Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali 2006.

1 komentar:

onet burton mengatakan...

Tulisan yang membawa saya kepada suasana kala itu. Sungguh mengerikan. Terima kasih untuk tulisan ini.