Who am I

Who am I

Senin, 14 April 2008

Kekerasan, Monumen dan Ingatan

Kenangan di Tanah “Pengganyangan”[1]
(Kekerasan, Monumen, dan Ingatan)


“...Dumun nike wenten anak jerit-jerit ring tegalne. Wenten sane nepukin sepeda mejalan pedidine. Tongos niki tenget, nikangne driki dumun semer tongos metanem anggota PKI waktu Gestok. Mangkin kan wenten pelinggih driki...”

(Dulu ada orang menjerit-jerit di ladang ini. Ada juga yang melihat sepeda berjalan sendiri. Tempat ini memang angker, ceritanya dulu sumur ini tempat ditanamnya anggota PKI saat Gestok. Makanya sekarang ada tempat pemujaaan disini)
(Kadek Artana, Desa Melaya, Kabupaten Jembrana, 2 April 2005)


Monumen, apapun bentuknya adalah sebuah peringatan untuk ingatan. Tapi dibalik ingatan ada segudang pertanyaan. Setumpuk cerita tentang kepahlawanan, kebengisan, tumpah darah, tetes air mata yang membuat ingatan kita digiring pada sebuah narasi dan kenangan. Di Bali, setiap perempatan jalan dipenuhi monumen. Di pusat kota berdiri megah Monumen Perjuangan Rakyat Bali. Negara ini telah banyak membuat monumen-monumen yang membuat masyarakatnya teringat akan sebuah peristiwa sejarah serta heroiknya pahlawan dan perjuangannya. Tapi seiring ingatan tersebut terbentuk dan melembaga, kita kadang lupa bahwa ada apa sebenarnya di balik monumen itu, pondasi apa yang membentuknya dan kebohongan apa yang lahir darinya? Kemegahan monumen kadang membuat kita lupa dan sama sekali tidak ada gugatan pada “cerita kebenaran” tentangnya.
Kebohongan monumen membuat kita melupakan “monumen” lain, yang tersemai pada ingatan-ingatan masyarakat yang selama ini terbungkam dengan kebenaran sejarah tunggal sang monumen. Saya mempunyai kenangan, lebih tepatnya sebagai catatan lapangan, bagaimana sejarah kekerasan di Bali menyimpan monumen lain yang selama ini dibisukan. “Monumen” itu lahir dari penuturan para saksi dan korban sejarah yang lama berbungkam. Dari ruang bertutur itulah saya mencoba melacak jejak ingatan tentang “ladang kekejaman” di tanah-tanah “manusia merah” di Bali.
Kadek mengantar saya menerobos ranting-ranting bambu menuju ke sebuah tegalan (ladang). Saya menerawang, menatap ke langit mendengar desiran angin menghembus menggerakkan ranting-ranting bambu. Menginjakkan kaki di sebuah ladang penuh semak dan tumbuh-tumbuhan liar adalah pertama kali bagi saya. Sejauh mata mamandang, dan saya menoleh, hanya ladang yang kini lebih tepat disebut hutan bambu yang lebat. Samar-samar saya melihat pelinggih (pura kecil tempat pemujaan) beratap kayu bercat hijau yang sudah lapuk.
Saya sadar, saya telah memasuki apa yang kata masyarakat Melaya disebut daerah “Lubang Buaya”. Bukan monumen megah tujuh jendral pahlawan revolusi, lengkap dengan diorama “kekejaman” Gerwani yang ada di ibukota republik ini, tapi “Lubang Buaya” di Desa Melaya, Kabupaten Jembrana, daerah paling barat pulau Bali. Tidak ada diorama dan tanpa monumen yang menegaskan tempat ini adalah saksi kekejaman. Hanya ada deretan lebatnya pohon bambu dan tanaman liar mengelilingi pelinggih.
Kadek yang mengantar saya berujar dingin, “Driki dumun nikang nak tua-tua bangke-bangke taneme. Wenten kirang langkung seket,” tutur Kadek[2] menunjuk-nunjuk tanah disekitar kami berdiri dan juga yang kami injak. (Di sini dulu kata orang-orang tua mayat-mayat ditanam. Kurang lebih ada 50 mayat). Hanya itu perkataan Kadek, selebihnya kami hanya memandang tanah-tanah yang penuh dengan rerumputan yang kami injak. Belum bisa saya mempercayai dibawah tanah yang kami injak, 50 mayat “manusia merah” Bali, yang tertuduh menjadi anggota dan simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) tertanam. Di tempat inilah—dari penuturan saksi sejarah pembantaian massal di Jembrana—terdapat salah satu sumur yang dipakai untuk menanam mayat. Karena jumlah mayat yang banyak, truk-truk pengangkut menggunakan sumur-sumur penduduk di sekitar wilayah Desa Melaya. Selebihnya, dibuang di Pantai Candikusuma, dekat dengan desa tersebut.
Lalu dimana tepatnya sumur “Lubang Buaya” itu? Pertanyaan yang menggugah saya untuk membayangkan bagaimana jika tanah itu dibongkar dan mencari bukti bahwa di bawahnya benar ada kuburan massal, sumur “Lubang Buaya” yang selalu dibicarakan itu? Keinginanan saya mungkin berlebihan. Saya hentikan keinginan saya untuk bertanya pada Kadek. Bagi saya sudah cukup untuk mendengar cerita Kadek dan nanti kedua orang tuanya tentang sumur itu. Membongkar sumur itu dan menemukan tulang belulang manusia adalah sumber masalah lain bagi saya. Mungkin nanti saya akan ditangkap pecalang (milisi adat), bersaksi di muka adat karena membuat leteh (kotor) daerahnya dengan menemukan tulang manusia yang belum diaben (dibakar). Dalam kepercayaan Hindu Bali, haram hukumnya untuk membongkar kuburan. Hal itu hanya boleh dilakukan untuk ritual ngaben, sementara seluruh korban pembantaian PKI telah diaben secara simbolis karena jasadnya tidak ditemukan.
Saya mendengar cerita bahwa disamping pelinggih itulah dulu sumurnya. Kemudian digali lubang mengelilingi pelinggih yang kini telah dipagari dengan kayu bersemen. Saya beranikan diri untuk berjongkok Saya raba tanah itu dan menggambilnya. Saya menciumnya sebagai rasa hormat dan sujud saya pada arwah dan jenazah yang bersemayam di tanah ini. Desah saya adalah kepedihan, keharuan bercampur ketidakpercayaan. Mengapa bisa terjadi pembunuhan sesama saudara tahun 1965 hingga 1969 di Bali. Bagi saya tidak cukup alasan aeb jagad (bumi hancur) dengan pertanda meletusnya Gunung Agung 1963 yang sering diceritakan para penua (tetua) di desa. Ada yang salah dengan rasa kemanusiaan manusia Bali ketika itu sangat biadab dan membenarkan membunuh manusia dengan alasan menyupat (menghantarkan kepergiannya) dengan membunuh.
Saya hentikan segudang pertanyaan itu. Saya menuju sebuah rumah besar di depan ladang “Lubang Buaya” itu. Berdiri bangunan dengan atap yang mulai berlubang. Cat rumah dan perlengkapan di dalamnya berserakan. Kelihatan rumah tersebut tidak berpenghuni. Di dalam rumah, terdapat alat-alat pembuat es terbengkalai. Kadek yang dari tadi membisu perlahan bercerita. Rumah ini dulunya adalah pabrik es milik kakaknya. Usaha yang mulai berjalan sukses itu terhenti. Kakaknya takut sering mendengar suara-suara jeritan dan tangisan dari dalam pabrik. Akhirnya, kakaknya memutuskan meninggalkan rumah itu dan memulai usaha yang baru di Denpasar.
Bersebelahan dengan rumah itu adalah rumah Kadek yang kini tinggal dengan kedua orang tuanya. Rumah sederhana beratap gedeg dengan rangka yang masih dari bambu. Kedua orang tuanya telah menunggu kami. Saya bersila dan menemani ayah Kadek bercerita. Mulai dari kesibukannya mengupas kelapa, keadaan di rumah tangga hingga saya beranikan diri untuk bertanya kebenaran cerita “Lubang Buaya” di tegalan belakang rumahnya.
Sontak setelah ditanya “Lubang Buaya”, ayah Kadek bercerita dengan berbisik-bisik, penuh hati-hati. “Ngih, dumun nike semer tiang. Sandikala wenten truk merika ngentungin bangke. Tiang tengkesiab, tapi nikange siep gen,” tuturnya. (Iya, dulu di sana sumur keluarga. Petang harinya ada truk membuang mayat di sumur itu, tapi saya disuruh diam saja). Mayat ditumpuk dan dijejal dalam sumur kecil yang tidak cukup menampung 50 mayat. Sumur yang dalam dan masih ada airnya itu penuh dengan tumpukan mayat. Dua sumur lain di desa tersebut juga demikian. Malam harinya, ayah Kadek melanjutkan cerita, dengan mengatakan bahwa bau busuk mayat dan darah menyengat seluruh desa.
Lalu darimana datangnya mayat itu, dimana tempat pembantaiannya? Saya mengikuti jejak-jejak cerita pembantaian di bumi makepung—nama lain Kabupaten Jembrana itu. Dari cerita-cerita saksi sejarah sampailah saya pada cerita tentang sebuah desa bernama Tegalbadeng[3] dan toko tua, Toko Wong namanya. Tegalbadeng, jika dibahasa-indonesiakan kurang lebih berarti ladang hitam dari kata bahasa Bali, tegal dan badeng.
Desa Tegalbadeng letaknya masuk ke pelosok dari pusat kota Negara, Kabupaten Jembrana. Letaknya yang masuk ke dalam membuat memencilkan desa itu. Ada dua desa yaitu Tegalbadeng Barat dan Tegalbadeng Timur. Memasuki jalan-jalan setapak dengan pepohonan yang lebat, di sisinya saya melihat masih banyak lahan-lahan persawahan yang digarap oleh penduduk setempat. Di Tegalbadeng Timur, rumah-rumah sangat berjauhan jaraknya. Berbeda dengan Tegalbadeng Barat yang telah menjadi kompleks perumahan dengan adanya Perumnas Tegalbadeng. Di Tegalbadeng Timur, pada jalan tanah yang mulai rusak dan digenangi air, saya melihat sebuah rumah sederhana berdiri sendiri jauh dari pemukiman penduduk lainnya. Sampai di rumah itu, saya disapa oleh seorang lelaki renta dengan wajahnya yang mulai keriput. Sapaannya ramah mempersilahkan saya duduk di pelataran rumahnya. Lelaki renta itu Pak Mangku, dengan baju putih yang sudah kusut dengan kain sarung lusuh yang masih lekat di tubuhnya. Suaranya berat ketika membuka pembicaraan, “Wenten sane takennin ngih sareng tiang?” (Ada yang mau ditanyakan ya pada saya?).
Saya mulai melanjutkan pembicaraan tentang situasi desa dan aktivitas Pak Mangku sehari-hari. Dari sinilah pembicaraan mulai akrab dan perlahan saya mengetahui siapa Pak Mangku sebenarnya dan bagaimana ingatannya tentang peristiwa 1965 di desanya. Pak Mangku sesuai dengan namanya adalah seorang Mangku (pendeta menurut Hindu-Bali) di Pura Dalem Tegalbadeng. Selain menjadi pendeta, Pak Mangku juga seorang Balian (dukun) di desanya. Pantas saja, di depan saya ada kamar suci dengan pintu coklat berukir yang setengah terbuka. Saya melirik, ternyata di dalam kamar suci berdiri altar-altar pemujaan dan patung-patung dewa dalam kepercayaan Hindu. Saya meyakinkan diri bahwa Pak Mangku benar-benar seorang balian. Maka, saat ia mempersilahkan saya sembahyang masuk ke dalam kamar sucinya, saya tidak menolak. Saya pun sembahyang dan kemudian dipercikkan tirta (air suci).
Dari penuturan Pak Mangku saya mulai mengais-ngais cerita “rahasia” masyarakat Jembrana tentang Tegalbadeng, sebuah desa terpencil yang selalu disebut-sebut saat membicarakan Gestok dan pembunuhan PKI di Jembrana. Desa ini disebut-sebut sebagai tempat awal terjadinya pembantaian massal yang didahului dengan bentrokan antara massa PKI dan PNI yang menggabungkan diri dengan dengan tentara dan Pemuda Anshor NU bernama Gerakan Front Pancasila Menumpas Komunis. Dari bentrokan itu, seorang tentara dari massa Front Pancasila dan dua orang anggota Pemuda Anshor NU tewas.
Dari catatan sejarah hingga penuturan saksi dan korban saya mendapatkan beragam versi tentang peristiwa Tegalbadeng. Pak Mangku juga memberikan penuturan yang tidak jauh berbeda. Ia hanya tahu terjadi bentrokan di desanya dan setelah itu seluruh massa keluar berhamburan membakar rumah-rumah orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI. Hari-hari berikutnya adalah malam-malam mencekam saat orang-orang diculik dari rumahnya dan tidak kembali lagi. Bahkan beberapa orang yang melawan saat diculik langsung dibunuh dirumahnya. Mayatnya diseret dan dibuang di sumur-sumur penduduk sekitar Desa Tegalbadeng.
Pak Mangku adalah bagian dari cerita itu. Saat tahun 1965, usianya menginjak 18 tahun. Hari-harinya dihabiskan untuk bersekolah dan membantu ayahnya bekerja di sawah. Sampai ia mendengar kabar PNI dan massa Front Pancasila membutuhkan relawan untuk nguopin (membantu) membasmi komunis di Tegalbadeng. Tanpa ragu ia ikut mendaftar bersama beberapa kawan sebayanya. Pak Mangku mulai mengingat, yang kene garis (termasuk daftar akan dibunuh) dibawa dengan truk dari seluruh desa di Tegalbadeng jam 8 malam. Jam 9 sampai 10 malam, tali yang mengikat tangan mereka dan kain yang menutup mata dilepas. Mulailah dilakukan pembantaian sampai pukul 5 pagi oleh tentara dibantu tameng (milisi sipil) dengan memakai topi hitam, celana panjang hitam bersenjatakan klewang. “Tiang (saya) dulu ingat dan meyaksikan sendiri saat menyeret-nyeret mayat-mayat yang harus dikubur di lubang-lubang sumur penduduk. Kepala orang disandarkan dan dipegang, kemudian dipenggal dengan klewang,” tutur Pak Mangku yang kini tinggal bersama istri, anak, menantu dan cucu-cucunya di Tegalbadeng.
Deskripsi yang lebih detail tentang peristiwa Tegalbadeng saya dapatkan dari sebuah dokumen catatan sejarawan I Wayan Reken (alm). Dokumen ini menyebutkan bahwa pada jam 9 malam tanggal 30 November 1965, diterimalah laporan dari seorang penduduk bangsa Bali Islam dari Desa Tegalbadeng kepada markas Anshor di Loloan Barat. Laporan ini menerangkan ada suatu rapat gelap gerombolan PKI di Desa Tegalbadeng. Rapat gelap PKI itu berlangsung di rumah seorang anggota polisi bernama Pan Santun, tepat di sebelah barat Pura Pande Tegalbadeng. Laporan ini dilanjutkan pada Intel Kompi D.471di Negara dan untuk mengecek kebenaran berita tersebut dikirimlah dua tentara Intel bersama puluhan pemuda Anshor dari Loloan Barat.
Rombongan Pemuda Anshor yang mengantar dua orang tentar Intel ke tempat rapat gelap PKI di Desa Tegalbadeng dicegat oleh pengawal-pengawal PKI sewaktu akan masuk mengadakan pemeriksaan-pemeriksaan. Tanpa diduga sewaktu tentara Intel dan Pemuda Anshor bersitegang memasuki halaman, mereka telah dihujani batu-batu berbarengan dengan tembakan-tembakan dari dalam. Berpuluh-puluh lampu senter PKI menerangi halaman di mana Pemuda Anshor berada. Terjadilah perkelahian sengit.
Tegalbadeng yang terkenal sebagai basis PKI memukul kentongan dengan kode-kode sehingga massa PKI yang siap siaga bersembunyi di sekitarnya datang menyerbu. Karena jumlah musuh yang lebih besar, rombongan pemuda Anshor mundur dengan meninggalkan jenazah tentara intel bernama Regar dan dua jenazah Pemuda Anshor. Tentara intel tewas tertembak dan dua pemuda Anshor tewas terpenggal senjata tajam. Insiden ini kemudian dilaporkan kepada Kopkamtib (Komando Pertahanan Keamanan dan Ketertiban) di kompi D Negara dan secepatnya malam itu juga dikirim pasukan-pasukan untuk menggempur pertahanan massa PKI di Desa Tegalbadeng. Di belakang pasukan Kompi D, berduyun-duyun massa Islam ikut menghancurkan sarang gelap PKI itu. Setibanya di tempat terjadilah pertempuran yang sangat hebat dengan massa PKI. Ribuan massa PKI lari berpencar mundur sedangkan orang-orang PKI yang terluka dan mati secepatnya disembunyikan oleh kawan-kawannya dan kemudian menghilang.
Dari sinilah kemarahan massa Front Pancasila mulai memuncak. PNI Front Marhaenis mengorganisir massa rakyatnya untuk bertekad menumpas habis sampai ke akar-akarnya PKI. Tentara melalui Kopkamtib berdiri di belakang mereka. Ditambah lagi dengan Pemuda Anshor dan DMI (Djamiatul Muslimin Indonesia) Nahdatul Ulama yang dengan tewasnya dua pemuda Anshor mengumandangkan Djihad (perang suci) terhadap PKI.
Kontroversi mengenai peristiwa Tegalbadeng mulai terkuak ketika saya bertemu seorang yang telah lama memendam kebisuan. Ingatannya yang telah lama tersimpan perlahan-lahan mulai diceritakannya dengan hati-hati. Wayan Dumun nama bapak ini. Ia adalah sopir dari anggota kepolisian yang mondar-mandir mengantar para tahanan dari anggota dan simpatisan PKI. Sebagai anggota Kepolisian, Pak Dumun juga bertugas memeriksa dan mengawasi para tahanan.
Penuturan yang menarik dari Pak Dumun adalah versinya tentang peristiwa Tegalbadeng yang disebutkan menjadi cikal bakal amarah massa Front Pancasila dan amuk massa pembantaian terhadap anggota dan simpatisan PKI. Penuturan Pak Dumun sekaligus menjadi versi lain, bahkan melakukan gugatan akan versi sejarah yang ditulis oleh Wayan Reken (alm). Ingatan Wayan Dumun menuturkan bahwa isu rapat gelap yang mendasari penyerbuan adalah awal malapetakanya. Masyarakat di Tegalbadeng yang sebagian besar adalah simpatisan dan anggota PKI sudah mulai ketakutan. Mereka sudah mendengar adanya penangkapan-penangkapan terhadap kawan mereka di daerah-daerah lainnya. Juga adanya berita pembakaran-pembakaran rumah dan penculikan-penculikan. “Saya ingat pas menjelang kejadian penyerbuan itu ada piodalan (upacara ritual) di Pura Pande Tegalbadeng,“ tutur Wayan Dumun sembari memegang keningnya mengingat peristiwa itu.
Wajahnya menunjukkan keseriusan, alisnya mengekerut. Tampak jelas ia menunjukkan kesan tidak setuju dengan opini umum terhadap peristiwa Tegalbadeng bahwa PKI melakukan rapat gelap dan mempersiapkan penyerangan terhadap massa Front Pancasila dan barisan Anshor yang melakukan pemeriksaan ke desa tersebut. Sambil memperbaiki tempat duduknya, Pak Dumun kembali bercerita, saat itu ada anggota polisi bernama Santun di Tegalbadeng. Penduduk yang merasa menjadi simpatisan dan anggota PKI meminta perlindungan terhadap anggota polisi itu. Mereka takut nanti jika suatu saat rumah mereka akan dibakar atau anggota keluarga mereka akan diculik dan dibunuh. “Mungkin ramainya massa yang berkumpul di rumah Santun dibilang melakukan rapat gelap,” ungkapnya tanpa ragu.
Pak Dumun melihat sendiri tentara dengan massa Front Pancasila telah melakukan rekayasa dengan meletupkan peristiwa Tegalbadeng menjadi momen dan alasan membantai PKI. Satu tentara Intel yang tewas bersam dua anggota Banser dikorbankan oleh satuannya untuk mencari alasan melakukan pembantaian. Dengan suara yang meninggi, Pak Dumun merasa bahwa ia tahu betul bahwa satuan tentara sebelumnya telah lama melatih bela diri pencak silat kepada Pemuda Rakyat. Tentara juga ikut serta dalam organisasi Pemuda Rakyat. Jadi mereka sebenarnya saling kenal dari dulu. “Saat pembantaian, tentara-tentara itu sebenarnya telah membunuh sahabatnya sendiri.”
Maka ungkapan yang menyebutkan Jembrana Kaon Ulian Orti (Jembrana hancur karena isu) ada benarnya. Peristiwa Tegalbadeng jelas menunjukkan itu semua. Semuanya berawal dari sebuah isu yang menyebutkan PKI melakukan rapat gelap persiapan penyerangan pada kamp-kamp tahanan anggota PKI yang dijaga tentara bersama massa Front Pancasila. Versi “laporan” dan “rapat gelap” yang dicatat Wayan Reken juga harus diperiksa sebagai hasil dari rekayasa dan tuduhan siapa? Ada baiknya memperhatikan ingatan Pak Dumun yang menyebutkan itu hanyalah akal-akalan dari tentara dan massa Front Pancasila untuk mencari-cari kesalahan PKI. Sebagai alasan melakukan penumpasan partai palu arit sampai ke akar-akarnya.
Konstruksi “sejarah” akhirnya menghadapkan dokumen (Pak Reken) dengan ingatan (Pak Dumun). Catatan historis yang disampaikan Pak Reken melekat kuat tanpa gugatan dalam ingatan masyarakat. Sejarah hanya berkutat dalam persoalan fakta yang terbentuk dalam dokumen-dokumen resmi, yang dianggap faktual dan valid untuk kajian sejarah “arus atas” (elite). Sementara posisi ingatan Pak Dumun adalah narasi dari ekspresi gugatan ingatan sosial masyarakat yang telah beku, tanpa versi lain. Pak Dumun menyatakan narasinya sebagai sebuah ingatan psikologis dengan penuturan-penuturan sejarah dari “arus bawah” (korban).
Narasi Pak Dumun adalah harta berharga bagi studi sejarah, yang telah lama berkutat pada pakem sejarah positivistik, No Document, No History tanpa sekalipun mendengar dan mengapresiasi penuturan korban dan versi sejarah lainnya. Posisi penuturannya bukan pada faktualitas, tapi lebih pada empati dan penafsiran penuturan para korban untuk menciptakan kebenaran naratif. Maka, History is Rememoration meletakkan fondasi sejarah bukan pada fakta historis dari peristiwa sejarah itu—seperti perdebatan siapa dalam G30S—tapi pada latar belakang dan jejak-jejak kekerasan yang menyertainya—pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI, pengiriman tahanan politik ke Pulau Buru dan diskriminasi politik.
Saya teringat, selain Tegalbadeng, ada satu tempat lagi yang sering menjadi bahan pergunjingan masyarakat Jembrana.Toko Wong namanya. Ia berupa bangunan tua di pinggir Jalan Manggis, wilayah Desa Lelateng, Jembrana menuju perkampungan muslim Desa Loloan. Toko Wong dulunya adalah sebuah toko kelontong untuk kebutuhan sehari-hari yang lumayan besar dan terkenal di kota Negara. Pemiliknya adalah seorang Tionghoa bernama Wi Bian Chie yang melarikan diri menjelang tahun 1965. Sebelumnya berdiri hotel besar di bangunan besar dipinggir jalan menuju Loloan Barat ini. Saya tiga kali mengunjungi toko ini dan nyaris selalu tanpa kehidupan didalamnya. Ada dua bangunan besar toko ini, satu bangunan bercat putih susu dan satunya lagi bercat biru tua. Hanya ada papan bertuliskan “Pengacara dan Penasehat Hukum”
Bangunan Toko Wong masih model lama dengan jendela-jendela kayu yang mulai rapuh kayunya. Satu bangunan besar bercat putih susu berdiri megah. Satu bangunan lagi bercat biru tua menyala. Selama tiga kali saya mengunjungi toko ini sama sekali tidak ada kehidupan di kantor pengacara dan penasehat hukum ini. Saya beranikan diri untuk menelpon dan tidak ada yang mengangkatnya..
Saya bertemu dengan seorang lelaki tua, namanya Ketut Redang yang rumahnya berdekatan dengan Toko Wong. Ia tahu persis bagaimana toko itu saat hari-hari mencekam bulan November dan Desember 1965. Dari mulai pagi hingga dini hari sangat gaduh dengan suara jeritan manusia, deru truk, letusan tembakan berulang-ulang tiada henti. Tidak ada penduduk yang berani mendekat ke Toko Wong. Mereka hanya mendengar saja suara-suara jeritan manusia dan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Pak Redang saat itu memberanikan diri untuk mencari tahu peristiwa tersebut. Di dalam toko tersebut, lanjut Redang, ada banyak ruangan-ruangan yang dulunya dipakai menyekap kurang lebih 200-an anggota dan simpatisan PKI yang akan dibunuh. Dalam salah satu ruangan terdapat 50-an yang didrel (ditembak) oleh tentara sehingga darahnya mengucur dan menggenangi seluruh ruangan. Tinggi darah dari penembakan itulah mencari seukuran tumit. Redang mengatakan bahwa hal ini sudah menjadi cerita umum di desanya. Namun masyarakat masih takut menceritakannya. 200-an mayat yang selesai ditembak itu kemudian diseret dan dibuang ke sebuah sumur yang berada di dalam Toko Wong. Sumur yang menurut Pak Redang sangat dalam itu penuh dengan jejalan mayat-mayat yang ditumpuk. Karena kepenuhan, sebagian mayat dibawa untuk ditanam di setra (kuburan) Negara, sumur-sumur penduduk di wilayah Melaya dan Pantai Candikusuma. Redang masih ingat bau mayat-mayat yang dikubur seadanya itu masih dirasakan oleh masyarakat selama satu bulan. Pak Reden menyaksikan dengan jelas bagaimana barisan orang-orang yang diikat tangannya, dimasukkan ke dalam Toko Wong dan hampir pasti tidak akan kembali. “Ada keyakinan umum ketika itu, orang yang sudah masuk ke dalam Toko Wong tidak akan pernah keluar, ujar bapak yang kini menikmati hari tua di rumahnya di Negara bersama istrinya.
Saat saya mengunjungi toko itu, nampak sama sekali tidak ada kehidupan. Menurut penuturan masyarakat di pinggir toko tersebut, gedung itu memang telah menjadi misteri dan tanpa ada seorang pun yang berani membicarakannya. Hanya ada dalam ingatan masing-masing saksi peristiwa pembantaian massal di toko tersebut. Pak Redang sering mendengar cerita dari penduduk yang tinggal di dekat Toko Wong, tentang kejadian-kejadian misterius. Misalkan saja ada terdengar orang ramai sedang rapat. Ada suara-suara lantang berteriak. Juga sering terdengar suara jertian-jeriatan dari dalam Toko Wong. Yang tidak pernah dilupakan Redang adalah peristiwa yang ia lihatnya sendiri. Seorang lelaku tua yang dulu sangat terkenal menjadi tukang jagal, tameng saat pembantaian di Toko Wong. Perangainya yang sadis, kasar menghantarkannya menjadi orang yang sangat ditakuti di desanya. Saat peristiwa ’65, ia direkrut menjadi barisan Front Pancasila dan menjadi algojo dalam setiap pembantaian massal di wilayah Negara. Khusus di Toko Wong, selain penembakan oleh tentara, orang inilah yang melakukan pembantaian dengan menebas leher mereka yang dituduh simpatisan dan anggota PKI. Reden tahu persis orang ini dan sangat miris melihat hidupnya kini. Di usianya yang beranjak tua, saat badan mulai ringkih, ia menanggung beban besar dan jiwanya terkoyak. Si tameng ini selalu mengaami kesurupan saat melewati Toko Wong.
Penghargaan kita bukan hanya sebatas membuat monumen, memperingatinya dengan upacara megah dan ritual untuk membuat harmonisasi pada masyarakat. Bukan juga dengan membungkam gugatan ingatan yang memiliki versi lain dari negara. Sejarah kekerasan kemanusiaan hanya membutuhkan ruang untuk bertutur. Dan sudah pasti membutuhkan empati dan kepedulian kita, untuk satu keyakinan untuk tidak melupakan dan mengulanginya lagi. Semoga...


[1] Sebagian essay ini pernah dipublikasikan dengan judul Mass Grave Fielwork, Bentara Kompas Sabtu 2 Juli 2005 dan Bab IV Jejak-jejak Manusia Merah Bali dalam I Ngurah Suryawan, Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), 2005. Diadakan beberapa penambahan pada bagian-bagian essay ini..
[2] Seluruh nama dalam essay ini adalah nama samaran, kecuali nama sejarahwan (alm) I Wayan Reken.
[3] Desa Tegalbadeng di Kabupaten Jembrana, daerah paling barat pulau Bali yang berbatasan dengan Pulau Jawa, berdasar cerita dari pelaku dan saksi sejarah adalah daerah pertama di Bali terjadi ketegangan antara massa PNI dengan PKI. Di Desa Tegalbadenglah pemicu keberingasan massa Front Pancasila untuk melakukan pembakaran rumah-rumah, penculikan, dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh berkaitan dengan PKI dan organisasi massanya. Lebih detail saya uraikan dalam Ladang Hitam di Pulau Dewa (Studi Awal Pembantaian Massal 1965-1966 di Bali), naskah yang akan terbit dalam rangka program fellowships PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Menarik apa yg anda tulis namun sayang, informasi dari pan dumun dan pak mangku hanya dikonfrontir dengan catatan pan reken ( yg telah meninggal ), ada beberapa hal yg ingin saya utarakan :
- PKI pada tahun 65 merupakan ideologi dan partai yg menakutkan, kerap melakukan tindakan "melawan" aturan, demonstratif, arogan. Coba anda tanyakan sendiri kepada generasi tua di jembrana bagaiman ketika ada pidato pada rapat umum PKI, dalam radius sekian ratus meter semua harus diam tak tak bersuara, bahkan berjalan melintas pun akan jadi sasaran amukan "satgas" PKI.
- PKI Menyebar ancaman dan agitasi, penghinaan kepada kelompok non PKI, tanyakan pula bagaimana isi pembicaraan Agung Dunya ( adik AA sutedja ) ketika berpidato dalam rapat umum, atau isu jika PKI menang maka lawan politiknya akan disembelih ( terutama dari kalangan muslim ). Menyikapi hal ini dan situasi politik nasional yg memanas adalah suatu kewajaran jika masa non pki dan atau muslim di loloan terutama, berusaha merapatkan barisan dan berusaha membentuk pertahanan swadaya, karena ancaman tsb bukan hanya gertak sambal ( lihat peristiwa madiun dan revolusi sosialis belawan kaum bolshevic di uni sovyet ).
- Adakah upacara piodalan dgn membawa senjata ? ( bahkan ada senjata api, ini membuktikan bahwa memang telah ada kesiapan dan persiapan dari massa PKI )
- Lokasi kedua pemuda anshor dan seorang tentara yg tewas itu relatif jauh dari area rapat gelap tsb, terjadi penghadangan oleh massa PKI yg bersenjata, bukan penyerbuan ke tempat orang2 PKI yg "lemah" seperti penuturan pan dumun yg serta merta anda amini.
- Salah seorang paman saya ikut serta mengambil jenazah pemuda anshor dan tentara yg tewas memberi kesaksian bahwa mayat mereka tewas dengan luka tembak dan luka bacokan, salah seorang anshor di tembak dengan senjata api yg dimasukkan kedalam rongga mulutnya untuk mengindari adanya ilmu kebal atau semacamnya, disertai pula dengan pelecehan berupa pemotongan daun telinga, pencongkelan biji mata dan pemotongan alat kelamin, ( paman saya pada wktu itu berumur +/- 15 tahun dan dia pernah pula menjadi penjaga malam di tolo lux/ toko wong sesaat setelah kondisi di waktu itu berangsur membaik ).

Dapat saya tarik kesimpulan bahwa pada waktu itu PKI merniat, bersiap dan bersikap ingin "menghabisi" lawan2nya, jika memang mereka menang mungkin sekarang anda akan menulis tentang jutaan manusia yg dibantai PKI, pengambilan paksa dan eksekusi yg dilakun secara ngawur dan brutal tanpa proses peradilan memang suatu tragedi kemanusiaan yg luar biasa yg patut disesalkan dan tak dapat dibenarkan oleh agama atau ideologi atau pola pikir yg sehat manapun ( atau mungkin hanya oleh PKI saja ), tapi konteks keadaan pada masa itu diwarnai dengan pola pikir "menyembelih PKI atau disembelih PKI", kemarahan tentara akan kematian seorang rekannya turut pula memberi dorongan dan akomodasi dalam mengobarkan amarah massa.
Ketakutan saya dengan tulisan anda adalah adanya pengalihan persepsi bahwa massa muslim NU membantai massa hindu dengan dalih PKI, karena terdapat pula orang islam yg turut dibunuh spt seorang anaknya Agung Said atau beberapa orang pendatang dari jawa.
penulisan yg berimbang itu penting karena generasi mendatang tidak akan belajar dan percaya kecuali dari buku atau media tertulis/ terekam lainnya, Alangkah bijaksana kita memandang luka yg disebut PKI itu sebagai sebuah keniscayaan di jaman "gila" semagai pembelajaran bahwa kemanusiaan dan keadilan haruslah di tempatkan pada posisi yg tinngi, pentingnya komunikai antar umat pemeluk agama yg berbeda untuk menghindari kesalahfahaman dan kecurigaan, sebagaimana pula yg diajarkan bahwa membunuh seorang anak manusia tanpa hak sama dengan membunuh seluruh umat manusia, namun sayangnya dijaman yg penuh kesalahfahaman ini luka lama dikorek kembali tanpa cukup informasi dan konfirmasi dengan dalih akademis atau mungkin kepentingan pribadi.
maafkan jika kurang berkenan
semoga kita semua bisa belajar

I Ketut Surta mengatakan...

Semakin banyak referensi,semakin membuka tabir gelap sisi kelam daerah tempat saya dilahirkan...tentunya juga saya hubung hubungkan denga cerita orang orang tua yang sempat mengalami peristiwa kelam ini.Satu tekad yang saya pegang adalah,saya berusaha berada sebagai pendengar sejati, "tidak ikut memihak atau mengutuk pihak yang manapun",agar jiwa saya bisa tetap murni mengangbil hikmah dari pembelajaran yang tidak terperi mahalnya.Semoga kedepannya tidak ada lagi kejadian yang seperti ini.Semoga kita semua hidup damai berdampingan.