Cerita kekejaman dan pengkhianatan
Adegan lain yang tidak akan pernah saya lupakan dalam proyek “ritual 30 September” itu adalah saat para jendral diseret ke kamp penyiksaan di daerah Lubang Buaya. Mulailah “aksi silet” yang dilakukan Gerwani dalam menyiksa para jendral. “Darah itu merah jendral,” adalah kutipan dialog yang selalu membekas dalam ingatan saya. Kembali ke sekolah, kalimat itu selalu digunakan beberapa kawan untuk mengancam kawan yang lain dalam permainan.
“…Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian. Jika di antara pembaca ada yang mempunyai teman orang Bali, tanyakanlah apakah dia mempunyai teman yang menjadi korban pertumpahan darah itu. Ia pasti akan mengiyakan, karena memang demikianlah keadaan di Bali.Tidak seorang pun yang tinggal di Bali pada waktu itu yang tidak mempunyai tetangga yang dibunuh atau tidak dikuburkan oleh setan hitam berbaret merah yang berkeliaran di mana-mana pada waktu itu…”[5]
Kepedihan, kenangan, ingatan, dan jejak-jejak kelam pembantaian sesama saudara di Bali itu disimpan rapi dalam selimut bernama politik pariwisata budaya, sebuah ideologi yang mengawali ideologi pembangunan dan stabilitas keamanan ala orde baru. Tahun 1966 dimulai dengan “pelupaan kenangan pahit masa lalu untuk bersama-sama melangkah ke masa depan”. Komunisme dan
Tapi landasan pariwisata budaya terbangun di atas landasan yang keropos tercerai berainya ingatan sosial kekerasan peristiwa 1965-1966. Megahnya hotel-hotel berbintang yang ada di Bali kini beralaskan kuburan massal 80.000 hingga 150.000 nyawa manusia Bali[6] yang dibunuh saudaranya sendiri dalam tahun-tahun yang “hilang” dan “tak pernah berakhir”[7] dalam perjalanan negeri ini. Tak pernah yang ada mengupacarainya, kecuali secara sembunyi-sembunyi di tahun 1965-1996 dan siap menanggung stigma keluarga kene garis (keluarga merah/
Mengungkap suara-suara senyap yang tersembunyi, yang dibungkam oleh sebuah hantu bernama komunisme adalah tujuan penting dari studi ini. Karena itulah penuturan-penuturan para saksi sejarah dan survivor menjadi bagian penting dari penelitian ini. Penuturan mereka adalah harta yang sangat berharga untuk memperbaiki hubungan sosial kita yang menyimpan borok di tengah keharmonisan semu selama ini di Bali. Dan Peristiwa 1965 menyimpan gumpalan tanda tanya besar sengkarutan rasa pedih, ingatan kekerasan, kebenaran, kekuasaan, dan pertanggungjawaban negara, militer, dan pelaku lainnya dalam pembantaian massal yang terjadi.
Penuturan dan kesaksian itulah yang saya dapatkan di sebuah desa kecil di barat Pulau Bali. Namanya Desa Tegalbadeng di Kabupaten Jembrana. Tegalbadeng dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya ladang hitam dari bahasa Bali tegal (ladang) dan badeng (hitam). Kabupaten Jembrana dengan ibukota Negara adalah daerah barat pulau Bali yang paling dekat dengan pelabuhan Gilimanuk, perbatasan dengan Pulau Jawa. Tidaklah heran jika daerah Jembrana penduduknya sangat beragam karena pengaruh Islam, Kristen dan penduduk asli Hindu.
Jalan berliku, masuk jalan tanah ke semak-semak pohon, saya bertemu seorang lelaki renta, kurus, rambutnya mulai memutih. Lelaki renta itu kemudian saya ketahui bernama Mangku Nata, seorang pemangku (orang suci Hindu Bali) yang juga menjadi Balian (dukun) di Desa Tegalbadeng.
Suaranya yang berat, saya rasakan adalah ketegarannya menghadapi ingatan masa lalu yang tidak pernah akan dia lupakan. Desanya adalah awal dari rentetan pembantaian massal di Bali. Tegalbadeng memang telah menjadi ladang hitam, tanah berlumuran darah dari sanak saudara sendiri.
Mangku Nata mulai bercerita, desanya sempat tenang beberapa minggu dari pertengahan Agustus 1965 sampai ada berita di Tegalbadeng Timur pada awal Oktober 1965 ada surat yang berisi daftar 220 KK yang masuk “kena garis” dan harus dibantai. 220 kepala keluarga 300 orang dibantai tameng (satgas, pemuda desa yang dilatih tentara untuk membantai), tentara (RPKAD) dan Banser NU (Nahdatul Ulama) di Tegalbadeng Timur dan Desa Baluk. Pembantaian pada Oktober 1965 itu langsung dibawah komando militer, RPKAD, dilakukan di tanah seluas sepuluh are yang sudah dipasangi patok-patok dari bambu.[8]
Tanah-tanah saksi pembantaian itu kini telah berubah. Kini di tempat pembantaian itu berdiri megah Balai Desa Baluk dan Kantor Kepala Desa Baluk. Di depannya terpampang megah bangunan beton dengan lambang Garuda Pancasila dan Bali menuju Sapta Pesona dan Bali yang BALI (Bersih, Aman, Lestari, Indah) “Mereka yang kena garis dibawa dari seluruh desa di Tegalbadeng jam delapan malam. Jam sembilan sampai sepuluh malam, tali yang mengikat tangan mereka dan kain yang menutup mata dilepas. Mulailah dilakukan pembantaian sampai jam lima pagi oleh tameng yang memakai topi hitam, celana panjang dan baju hitam serta bersenjatakan klewang, samurai panjang,” cerita Mangku Nata datar dalam bahasa Bali. Ia masih ingat dimana orang dipaksa ke banjar (desa) dan kemudian diangkut dengan truk untuk dibawa ke kuburan-kuburan desa dan daerah dekat pantai di Desa Tegalbadeng. Lainnya yang telah dibunuh di tempat, mayatnya dibuang di sumur-sumur dekat rumah penduduk. Saat itu Mangku Nata hanya ikut-ikutan dan tanpa berani untuk menolak. Ia bersedia untuk menyeret mayat-mayat yang telah ditebas dengan klewang atau ditembak. Menyeret mayat, itulah tugasnya saat malam-malam mencekam yang tidak pernah akan ia lupakan. Ia melihat sendiri manusia-manusia dipenggal kepalanya seperti orang
Secara keseluruhan, kabupaten Jembrana mulai tegang tanggal
Catatan I Wayan Reken (alm) yang berasal dari Jembrana setidaknya membenarkan ingatan dari Mangku Nata. Reken dalam catatannya yang belum pernah terpublikasikan, kini disimpan dengan rapi oleh anaknya I Ketut Nirartha[12] menuliskan pada malam jam 21.00 tanggal 30 September 1965, diterimalah laporan dari seorang penduduk bangsa Bali Islam dari Desa Tegalbadeng kepada markas Anshor di Loloan Barat yang menerangkan ada suatu rapat gelap gerombolan-gerombolan
Sejak meletus peristiwa itulah, para tameng dibantu dengan polisi dan tentara kalap dan mulai melakukan penculikan dan diselingi dengan pembantaian-pembantaian di pinggir jalan. Ini terjadi diseluruh daerah kabupaten Jembrana yang sangat terkenal sebagai basis gerakan dari
Kerusuhan dan pembantaian juga terjadi di Puri Agung Negara, rumah tua dari Anak Agung Bagus Suteja, Gubernur Bali saat itu. Massa mulai siang hingga malam di bulan Oktober hingga November 1965 melakukan perusakan dan pembakaran di Puri Agung Negara. Rumah Anak Agung Bagus Denia, dedengkot
Tentang Wedastra Suyasa dan Widagda, Soe Hok Gie mencatat, perkosaan-perkosaan terhadap mereka yang dituduh Gerwani menjalar ke mana-mana dan dicontohi oleh pemuka partai setempat. Contoh yang paling monumental adalah apa yang dilakukan oleh Widagda, seorang tokoh PNI di Negara, Widagda adalah adik dari Wedastra Suyasa, tokoh PNI Bali yang menjadi anggota DPR-GR Pusat. Belasan wanita yang dituduh dengan semena-mena telah dizinai dan tiga orang diantaranya pada bulan Maret yang lalu mengadukan perbuatan yang terkutuk itu ke meja hijau. Widagda dijatuhi hukuman vonis 3 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri di Negara (vonis Juni 1967)[17]
Selain Puri Agung Negara, hampir setiap jengkal daerah di Negara terjadi pembantaian. Selain Tegalbadeng yang menjadi pemicu awal pembantaian, satu daerah yang menarik adalah Desa Merta Sari di daerah Loloan. Desa ini adalah desa Hindu yang berada di tengah kampung muslim Loloan Barat dan Timur yang dibelah oleh sungai Ijogading. Saat 1965, Desa Merta Sari adalah basis dari anggota
Kuburan massal adalah hal lain yang menarik yang ditemui disetiap jengkal tanah di Jembrana. Selain Tegalbadeng, Toko Wong dan tempat pembantaian serta kuburan massal, saya melihat dua tempat yang menurut saya menarik. Pertama adalah sebuah sumur yang kemudian dinamakan Lubang Buaya[18] di Desa Melaya. Sumur ini saat pembantaian
Dari rangkaan narasi, poin-poin penting dari awal pembantaian
Rangkaian dari studi ini bersumber pada catatan lapangan dan serangkaian wawancara tentang ingatan sosial masyarakat Jembrana terhadap Peristiwa 1965. Karena itulah menjadi penting untuk memberikan ruang bertutur secara khusus kepada para survivor dan saksi sejarah dalam peristiwa kelam tersbut. Penuturan mereka menunjukkan bagaimana mereka bisa survive untuk hidup di tengah kekuasaan yang meminggirkan mereka. Studi ini juga menghadirkan cerita-cerita pedih mereka sebagai pelajaran bagaimana kekuatan suara subaltern[20] untuk membongkar kekuasaan.
Geoffry Robinson adalah seorang sarjana asing yang menghasilkan sebuah studi yang mengesankan tentang pembantaian 1965-1966 di Bali. Studinya dengan focus kekerasan politik di
Namun, kelemahan analisa kelas dalam melihat tragedi 1965 juga ada. Dengan memakai analisa kelas ada resiko akan mereduksi kekerasan tersebut menjadi sesuatu yang bisa dirasionalkan, yang bisa dijelaskan secara logika. Pendekatan kelas tidak bisa menerangkan perjuangan para korban dan para pembunuh untuk mencari bahasa yang bisa mengungkapkan pengalaman dan penyesalan mereka. Dan pendekatan kelas tidak bisa menjelaskan kengerian peristiwa tersebut dan kekuatan emosi ingatan masyarakat yang masih hidup.
Karena itulah, studi antropologi kekerasan merekam dan memberikan suara-suara kerumitan pembantaian massal terjadi, yang tidak hanya bisa dijelaskan dengan pertentangan kasta, persaingan politik, tapi juga lebih rumit pada subyektifitas manusia Bali itu sendiri melalui serangkaian bahasa dan cerita-cerita pergulatan mereka tentang pengalaman, kepedihan, kehilangan, dan penyesalan atas tragedi yang terjadi.
Studi antropologi kekerasan ingin against dari sebuah “kebenaran” tunggal yang direproduksi oleh kekuasaan dalam catatan-catatan dokumen peristiwa sejarah. Dokumen itu tentu tidak menyentuh cerita-cerita kepedihan manusia-manusia yang “dikalahkan” dalam pertarungan sejarah dan kebudayaan. Yang tercatat adalah dokumen sang pemenang yang kemudian membuat sejarah menjadi permanen tanpa gugatan.
Antropologi kekerasan membongkar praktek “kebenaran” sejarah dan otoritas kebudayaan. Suara yang dibungkam, dihilangkan demi “kebenaran” dan “kemenangan” sang kuasa. Di sini adalah bagaimana fakta/kebenaran orde baru membenamkan fakta dari para survivor dan saksi sejarah yang “kalah” dalam Tragedi ’65. Tapi, studi ini tidak hanya bergulat pada keberbedaan dan pertentangan fakta dan “kebenaran” itu, tapi juga bagaimana latar di balik fakta dan kebenaran itu, yang berada pada ingatan dan penuturan para survivor dan saksi Tragedi ’65 di Bali, khususnya di Jembrana.
Urvashi Butalia dengan mengutip James Young mengatakan,
“…Kenangan-kenangan dan kesaksian tentang holocoust (kematian massal manusia karena dibakar, dalam masa kekuasaan Hitler), memampangkan pertanyaan ini: bagaimana kita dapat mengetahui holocoust kecuali dari berbagai cara penyampaian orang kepada kita? Dia menjawabnya dengan menyatakan bahwa seperti halnya dengan melalui ‘sejarah’-nya, kita dapat memetik pengetahuan yang sama banyaknya tentang holocoust dari representasi literer, fiksional, histories, dan melalui representasi kesaksian pribadi pribadi, karena yang penting bukan hanya ‘fakta’ kejadian melainkan juga—yang sama pentingnya—cara orang mengingat dan merepresentasikan fakta itu…”[33]
Tragedi ’65—dalam masa pemerintahan otoritarian orde baru—adalah pentas bagaimana cara mengingat peristiwa terkeji dalam sejarah bumi manusia ini mencoba diseragamkan oleh negara. Cara mengingat orang coba dibombardir dengan visual film Pengkhianatan G30S/PKI serta penyeragaman pelajaran sejarah. Cara orang mengingat dan merepresentasikan ingatan tentang Tragedi ’65 telah direbut oleh negara dalam ruang-ruang paling privat dalam hidup manusia: ingatannya. Tapi, di tengah proyek distorsi dan mesin propaganda sejarah itu, pasti ada saja gugatan-gugatan ingatan yang hadir di ruang-ruang kecil dan intim dari individu, yang memberikan perspektif lain dari kuasa representasi negara dalam mempengaruhi cara mengingat manusia terhadap sebuah tragedi.
Saat rezim otoritarian orde baru, segala suara kritis “kekiri-kirian” disumbat dengan stigma “
Tapi, selama rezim otoritarian orde baru, tidak ada satupun yang membincangkan bagaimana cerita “pembasmian” ke akar-akarnya pada
Semua catatan sejarah itu kita ketahui dari pewarisan sebuah ingatan, sebuah wasiat yang akan terus turun-temurun pada generasi sebelumnya. Begitulah sejarah yang bisa liar berada di sekitar kita tidak hanya melalui teks-teks buku sejarah, tapi juga pada penuturan, kesaksian, memoar, ingatan kolektif yang coba dibungkam, cerita-cerita rakyat yang penuh ketegangan, bahkan cara manusia membungkam dan mengingat ingatannya. Semuanya adalah bentuk representasi dari ingatan, yang bukan hanya sekadar fakta, tapi juga “ada apa di balik fakta itu?”
Di balik ingatan ada sebuah misteri, ingatan baru dan makna. Ingatan dibalik ingatan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana ingatan memiliki segudang makna. Pembungkaman ingatan selama rezim otoritarian orde baru adalah salah satu contoh bagaimana sisi dibalik ingatan para survior atau saksi sejarah Tragedi ’65. Kebungkaman, keengganan orang melihat adalah satu nilai penting untuk membongkar bagaimana cara orang mengingat dan melupakan tragedi itu. Semuanya bisa tersemai tidak hanya pada teks-teks dan buku-buku sejarah resmi yang telah diterbitkan oleh negara, tapi pada penuturan masyarakat kecil dalam pergulatannya menghadapi sejarah, pada para survivor, istri Tapol, anak, dan keluarga mereka.
Genealogi politik kekerasan sejatinya ada seiring peradaban manusia Bali zaman dulu kala yang terkenal barbar. Sejarah pelenyapan anak manusia menjadi catatan sejarah dari pulau yang dulunya menjadi sumber budak belian. Bahkan Bali mempunyai ritual untuk bunuh diri saat berperang melawan penjajah Belanda. Itu terjadi tahun 1906, dimana sebagian daerah Bali Selatan diduduki penjajah Belanda. Laporan-laporan resmi mengatakan 400 jumlah korban nyawa. Malah, para korban dinyatakan bertanggung jawab sendiri karena konon mereka ikut berpartisipasi dalam apa yang disebut “upacara bunuh diri”, yang dinamakan puputan atau pengakhiran. Bisa jadi jumlah korban 1100 lebih dan bukan 400 jiwa, yang mana sebagian besar mereka dibunuh oleh peluru penjajah.[35]
Wajah beringas manusia Bali saat membunuh saudaranya sendiri menyisakan kepedihan, tangis, kehilangan, dendam, dan ingatan yang tak terlupakan. Sejarah kelam manusia Bali itu hadir dalam bilik-bilik ingatan para saksi sejarah yang puluhan tahun terbungkam. Suara-suara senyap mereka adalah harta berharga untuk membongkar konstruksi politik kebudayaan Bali yang hingga kini terwarisi.
Kejamnya manusia Bali saat hari-hari pembantaian 1965-1966 adalah cermin perilaku politik mereka sebenarnya. Konflik, persaingan, ketegangan politik, agama, pribadi akhirnya melahirkan sebuah penghilangan nyawa manusia terkeji dalam sejarah peradaban manusia Bali dan Indonesia. Beragam analisa mencoba menjawab akar masalah manusia Bali saling bantai tahun 1965-1966. Pertanyaannya tentu saja, bagaimana operasi dan stimulasi konflik, persaingan politik, kasta, ritual, sentimen pribadi itu bekerja sampai membuat orang saling membunuh? Dan bagaimana kekuatan “negara”, lewat propaganda partai politik, militer, birokrasi sampai mempengaruhi orang untuk saling membunuh? Atau kedua pemilahan itu sudah kabur dan keduanya saling berelasi untuk membuat manusia Bali saling membunuh? Atau bahkan cara berpikir seperti “negara” dengan kewaspadaan dan ajakan “mengganyang komunis sampai ke akar-akarnya” telah diserap dan diterapkan manusia Bali untuk membunuh saudaranya. Tidak dapat dibedakan mana “rekayasa politik negara”, konspirasi, pertarungan politik atau yang lainnya, karena semua pemilahan-pemilahan, kategori itu telah melebur menjadi satu dalam amuk massa penyembelihan manusia.
Dalam situasi seperti ini, manusia Bali adalah satu kontestan terpenting. Ingatan kekerasan dari para survivor dan saksi sejarah dalam buku ini menunjukkan bagaimana beringasnya manusia Bali untuk menghilangkan saudaranya sendiri atas nama politik, persaingan, atau apapun namanya. Kenapa manusia Bali bisa melakukan itu semua? Konspirasi besar ketegangan politik kelas tinggi, pertarungan ideologi politik dan lainnya, mungkin jauh dari bayangan para ninja temeng yang melakukan pembantaian. Politik kelas tinggi itu bukan penyebab yang kuat untuk berlangsungnya pembantaian. Politik “besar” itu diturunkan menjadi politik-politik lokal, subyektifitas local manusia Bali serta sejarah-sejarah konflik lokal.
Kiprah manusia Bali dalam jejak sejarah pembantaian 1965-1966 adalah pertarungan memperebutkan klaim otoritas dalam sejarah, konflik dan kuasa lokal. Berbagai ketegangan politik “besar”, sejarah “negara” bertransformasi dalam beragam pertarungan-pertarungan lokal, sejarah dan konflik antara manusia Bali. Pertarungan sejarah lokal ini berelasi kuat pada perilaku dan otak manusia Bali yang telah berwajah “negara”. Akhirnya, ketegangan politik termanifestasi dalam dua wajah perilaku politik manusia Bali, pertama menyerap perilaku serta ideologi negara, dan kedua menjadi salah satu kontestan dalam pertarungan konflik lokal. Keduanya saling mengalami gugatan, berelasi dalam ajang konstestasi yang disebut Soe Hok Gie sebagai penyembelihan manusia Bali besar-besaran yang dilakukan oleh (ninja?) setan hitam berbaret merah yang berkeliaran di mana-mana pada waktu itu (tahun 1965-1966).[36]
Dalam gugatan dan kontestasi inilah manusia Bali dengan sejarah dan konflik lokalnya mempunyai subyektifitas lokal yang begitu lentur dan bisa tertarik-tarik. Subyektifitas itulah yang mendasari setiap gugatan dan perilaku manusia Bali dalam politik. Tapi subyektifitas lokal manusia Bali juga sangat mudah terseret menjadi wajah obyektifitas “negara” yang menjadikan manusia Bali sebagai agen-agennya. Kontestasi subyektiftas lokal dalam pembentukan sejarah harus bertarung dengan operasi “negara” yang sangat kuat membentuk karakter manusia Bali, dan keduanya saling berelasi dan berubah wujud.
Pembantaian manusia Bali 1965-1966 adalah salah satu relasi, pertarungan, dan gugatan dari “subyektifitas lokal” dengan “operasi politik negara”. Subyektifitas lokal ditunjukkan dengan ketegangan politik, sosial, ekonomi, ritual, sentimen pribadi dan konflik internal manusia Bali sesamanya, dan ini telah lama ada. Sedangkan politik negara beroperasi dalam pertarungan ideologi partai politik dan perebutan kekuasaan. Konflik ini bertemu dan kemudian melahirkan kebrutalan.
Manusia Bali adalah bagian konflik dan kebrutalan itu. Saat pembantaian terjadi, banyak yang menyebutkan semuanya adalah buah dari pertarungan ideologi politik antara
Beragam analisa dan argumentasi muncul, tapi belum ada yang memuaskan untuk menjelaskan kenapa manusia Bali bisa saling bunuh sesama saudaranya di tahun 1965-1966? Mungkin saja, salah satu penyebabnya adalah beragam analisa itu terperangkap untuk membingkai kejinya manusia Bali dengan jargon-jargon yang besar dan membuat konflik kekerasan sungguh rasional hanya karena berbeda ideologi dan kepentingan politik. Konflik dikesankan canggih dan pelakunya terlibat secara rasional. Pokoknya harus berbeda, mepapas, adalah jargon dangkal untuk membungkus subyektifitas manusia Bali yang penuh dengan pertarungan, kepentingan dan relasi-relasi politik. Kecanggihan konflik kadang menenggelamkan narasi-narasi kecil, pergolakan manusia dengan hidupnya.
Degung Santikarma, antropolog Bali, dalam sebuah kesempatan pernah menyatakan dengan jargon-jargon besar itu, konflik dan kekerasan terkesan canggih dan anggota banjar (desa adat/pakarman) yang terlibat terkesan semuanya rasional. Dengan membungkus konflik dengan jargon-jargon seperti mengkastakan konflik dan kekerasan akan mendepersonalisasikan konflik. Subyektifitas dan kerumitan internal menjadi lenyap.[38]
Manusia Bali dalam “tahun-tahun yang hilang” dalam sejarah peradabannya, tahun 1965-1966, adalah pergulatan penuh dengan kepentingan, konflik dan sejarah lokal dengan subyektifitas internal para manusianya. Semuanya termanifestasi dalam segala macam pertarungan politik lokal, ritual, kelas/kasta, tanah, sentimen pribadi, dan segala macam kerumitan manusia Bali. Peristiwa ’65 menjadi titik kulminasi, sebuah pentas untuk bertemunya segala macam konflik dan kepentingan lokal manusia Bali, yang telah lama tumbuh dan tersemai dalam beragam peristiwa kekerasan dengan penetrasi politik negara bahkan internasional dalam pertarungan politik antara komunisme dengan kapitalisme.
Antropologi kekerasan ingin memahami kerumitan subyektifitas manusia-manusia dalam perilaku kekerasannya. Dalam subyektifitas manusia terdapat beragam wajah yang terbentuk hasil relasi antara manusia dan kekuasaan. Rezim kekerasan tercipta hasil dari kolaborasi manusia-manusia yang bersatu dan menciptakan sebuah tragedi kekerasan.
Studi antropologi kekerasan pembantaian massal 1965-1966, khususnya yang terjadi di Bali ingin membongkar mitos tentang kekerasan yang selama ini terjadi di Bali sebagai proses alamiah dan memang budaya kekerasan telah ada di Bali, argumentasi keseimbangan alam, atau mitologi letusan gunung agung sebagai pertanda pulau Bali memerlukan korban. Alasan ini biasanya diperkuat dengan ritual-ritual keagamaan mengiringi pasca peristiwa kekerasan, khususnya pembantaian massal 1965-1966 di Bali, seperti ritual Eka Dasa Rudra 1979 dan Atma Papa 2005.[39]
“…Satu di antara hal-hal yang sangat menyusahkan aku pada saat memulainya (penulisan tentang Pemisahan ini) adalah justru kurangnya apa yang dikenal sebagai ‘objektif’ itu dalam karyaku ini. Sama sekali tidak ada jalan bagiku untuk menyangkal keterlibatan pribadi; tidak mungkin aku dapat berpretensi bahwa di sini tidak ada sangkut-paut emosial yang emosial yang menjeratku; mustahil kuhapus dan kuhilangkan keterlibatan politisku. Jika paparan ini dianggap sebagai sejarah, sangat mungkin ia akan dibuang ke luar jendala. Maka, barangkali cara terbaik untuk membacanya ialah dengan menambahkan kata ‘pribadi’ atau ‘personal’ pada sejarah yang kuupayakan dalam buku ini. Dan mencampakkan, sekaligus dan untuk selamanya, segala gagasan tentang objektifitas atau jarak. Ini adalah sejarah pribadi yang tidak berpretensi menjadi objektif…”[45]
Adam, Asvi Warman, 2004, Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia, Yogyakarta, Ombak.
Butalia, Urvashi, 2002, Sisi Balik Senyap, The Other Side of Violence, Yogyakarta, Indonesia Tera.
Budiawan, 2004, Mematahkan Pewarisan Ingatan, Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto, Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
Cribb, Robert (editor), 2003, The Indonesian Killings, Pembantaian
Geertz, Clifford, 2002, Hayat dan Karya, Antropologi sebagai Penulis dan Pengarang, Yogyakarta, LKiS.
Gie, Soe Hok, 1995, Zaman Peralihan,
Huskeen, Huub de Jonge (ed), 2003, Orde Zonder Order (Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998),
Hutabarat, Roberto, 1998, Di Bawah Panji-Panji Narasi: Sebuah Studi Politik Kebudayaan Pasca Kolonial Tentang Wacana Kekuasaan dan Kekeramatan di Puri Agung Pemecutan, skripsi sarja di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana,
ISAI,Tim, 1996, Bayang-Bayang
Loomba, Ania, 2003, Kolonialisme/Pascakolonialisme,
Nordholt, Henk Schulte, 2002, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah
P. Lim Pui Huen, James H. Morrison, Kwa Chong Guan (Editor), 2000, Sejarah Lisan Di Asia Tenggara Teori dan Metode, Jakarta, LP3ES
Putri, Agung, 2000, Mengungkapkan Kebenaran dan Mengadili Masa Lalu, Pengalaman rakyat Negeri Tertindas, Paper Policy Paper Series Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi No. 1, Elsam.
Robinson, Geoffery, 1995, The Dark Side Of
Roosa, John, Ayu Ratih dan Hilmar Farid (Editor), 2004, Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-Esai Sejarah Lisan, Jakarta, Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia
Santikarma, Degung, 2000, Kisah Bali dengan Keakraban dalam Kekerasan, dalam Kompas 1 September 2000.
------------, 2003, Monumen, Dokumen, dan Kekerasan Massal, dalam Kompas 1 Agustus 2003.
Spradley, James P, 1997, Metode Etnografi,
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin, 2003, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Tatalangkah dan Teknik-Teknik Teoritisi Data,
Sulistyo, Hermawan, 2000, Palu Arit Di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966),
Suryawan, Ngurah, 2005,
[1] Penelitian awal lapangan saya yang tak terduga tahun 2001, tapi sangat mengesankan tentang cerita seorang kakek pada sebuah zaman tahun 1960-an. Dari cerita itulah saya mulai mengumpulkan cerita-cerita lainnya tentang tahun 1965-1966 hingga kini. Cerita tersebut menjadi inspirasi dan awal dari ketertarikan saya menekuni studi tentang kekerasan dan pembantaian massal sesama anak manusia, sebuah cerita yang tidak saya dapatkan di bangku sekolah
[2] Lebih lengkap lihat Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI (Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia 1942-1984), Balai Pustaka, 1992.
[3] Ritual lain yang tak terlupakan adalah upacara bendera memperingati kesaktian Pancasila 1 Oktober dan dilanjutkan dengan rombongan sekolah menonton film Pengkhianatan G30S/PKI di gedung-gedung bioskop. Wacana “hantu komunis” terus tercipta pada rezim orde baru dan dijadikan senjata untuk menghabisi gerakan-gerakan kritis. Pewarisan ingatan akan bahaya laten komunis ditanamkan sejak dini dalam pendidikan nasional melalui pelajaran sejarah, PMP (Pendidikan Moral Pancasila), PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa). Lebih detail lihat studi pewarisan ingatan anti-komunis dalam Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan, Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), 2004.
[4] Film kolosal produksi pemerintah orde baru dengan sutradara Arifin C Noer. Dalam film propaganda negara ini terlihat pengheroan, penokohan dan mempahlawankan Soeharto sebagai panglima Kostrad yang mengambil alih keamanan dan melakukan pembersihan terhadap partai komunis di Indonesia, termasuk dengan membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Setiap tanggal 30 September malam seluruh stasiun TV menanyangkan film berdurasi hampir empat jam ini.
[5] Lihat Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, Bentang 1995. Satu essaynya menjelaskan jumlah manusia Bali yang tewas dalam “penyembelihan” massal itu adalah, Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali (161-169), juga Lihat Robert Cribb (ed) The Indonesian Killings, Pembantaian
[6] Banyak versi yang menyebut jumlah korban pembantaian massal di Bali. Diantaranya adalah versi dari Soe Hok Gie menyebutkan jumlah 80.000,
The New York Time menyebut angka 100.000. Lebih lengkap lihat Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966), hal. 14-16,
[7] Sebuah buku yang sangat inspiratif dan menggugah tentang penuturan survivor Peristiwa 1965-1966. John Roosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid (editor), Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65 (Essay-essay Sejarah Lisan), Tim Relawan Kemanusiaan dan Institut Sejarah Sosial Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), 2004. Sebelumnya terbit kumpulan essay sejarah lisan, Menembus Tirai Asap, Kesaksian Tahanan Politik 1965, Amanah Lontar dan Yayasan Sejarah Budaya Indonesia Amsterdam, 2003. Terdapat satu essay penuturan tahanan politik dari
[8] Pertemuan saya pertama dengan Mangku Tila di rumahnya yang sederhana, didepan kamar sucinya untuk mengobati tamu sebagai pemangku (dukun) 28 Februari 2004. Selanjutnya sebulan lagi, 14 Maret 2004 saya berkunjung lagi untuk mendengar ceritanya.
[9] Wawancara Mangku Nata, ibid.
[10] Hasil catatan lapangan dan wawancara di Kabupaten Jembrana, Februari-April 2005. Persoalan land reform memang menjadi isu yang menyulut ketegangan antara
[11] Catatan lapangan dan wawancara di Kabupaten Jembrana, ibid.
[12] Pertemuan pertama dengan I Ketut Nirartha akrab dipanggil Pak Munir di rumahnya di Negara 13 Januari 2005. Pak Munir kini mengelola sebuah koperasi untuk nelayan pesisir pantai di kabupaten Negara disamping menjadi koordinator Pecalang (satuan pengamanan adat di Bali). Tumpukan tulisan-tulisan ayahnya (Wayan Reken), telah ia salin dari kertas-kertas yang mulai lusuh. Khusus untuk peristiwa pembantaian PKI di Negara, Pak Munir baru menyalin dua naskah dari ayahnya. Salah satunya yang menjadi acuan dari penelitian saya adalah, Operasi Front Pancasila, Mengikis Habis Gerakan PKI 30 September 1965 sampai dengan Mei 1966.
[13] Catatan ini diambil dari tulisan I Wayan Reken tentang Operasi Front Pancasila, Mengikis Habis Gerakan PKI 30 September 1965 sampai dengan Mei 1966, Jangan Sekali-Sekali Melupakan Sejarah. Tulisan Reken ini kurang lebih dari ingatan Mangku Tila dibenarkan bahwa ia melihat penduduk tumpah ruah keluar rumah menyaksikan mayat-mayat yang bergelimpangan di Pura Pande Tegalbadeng. Kronologi awal peristiwa ini yang belum terlacak dengan pasti dan mendapatkan perbandingan selain catatan dari
I Wayan Reken.
[14] Wawancara dengan Ketut Redden, (12 Januari 2005), warga Negara, saudara I Wayan Reken yang masih hidup dan menjadi saksi mata dari pembantaian PKI di Negara, khususnya di Toko Wong. Catatan dari I Wayan Reken juga menyebutkan tanggal 30 Novembr 1965 tersebar isu akan terjadi konsentrasi massa PKI di toko Wong dan satuan pengamanan Front-Front Pancasila (temeng, PNI, tentara, polisi, masyarakat) mulai bergerak ke Toko Wong dan daerah utara dan timur kota Negara untuk melakukan penumpasan terhadap perlawanan PKI itu.
[15] Saya mengunjungi Toko Wong dan Kota Negara dari mulai tanggal 11-18 Januari 2005. Wawancara dengan Nanoq da Kansas, wartawan dan seniman di kota Negara. Pernah menulis buku tentang profil Gde Winasa, bupati Jembrana kini. Buku ini menuai kontroversi karena pengakuan Winasa dalam buku profilnya bahwa di desanya dulu di Tegalcangkring, hanya orang tuanyalah satu-satunya PNI, selainnya adalah
[16] Wawancara dengan Anak Agung Beny Sutedja (15 Maret 2004, 25 April 2004 dan 12 Januari 2005), pewaris tahta Puri Agung Negara anak dari Anak Agung Bagus Suteja, gubernur Bali pertama yang hilang setelah purinya dihancurkan oleh massa.
[18] Awalnya saya membaca sebuah artikel di tabloid lokal di Kabupaten Jembrana yaitu Ge-M Independen berjudul Lubang Buaya di Melaya Sumur Pembantaian Saat Gestapu yang dimuat di edisi 03 Tahun III 5-11 April 2004.
[20] Subaltern merupakan istilah yang digunakan oleh kelompok intelektual India paskalonial untuk menyebut diri mereka sebagai kelompok Subaltern Studies, kelompok intelektual kritis yang mencoba membongkar relasi kekuasaan imperialisme dan kolonialisme yang diterapkan penjajah terhadap negeri jajahan, bahkan telah melahirkan produk kekuasaan baru dalam bentuk politik, budaya, pendidikan, gender, dan lainnya. Subaltern adalah orang-orang yang kehilangan hak-haknya untuk bersuara/bertutur/berbicara. Kemudian dipopulerkan oleh Gayatri Spivak dalam essaynya berjudul, Can Subaltern Speak dalam kritiknya terhadap representasi budaya terhadap wacana gender dan patriarki. Lebih lengkap lihat Leela Gandhi, Teori Poskolonial, Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, Qalam, 2001. Ania Lomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme, Bentang, 2000 dan Mudji Sutrisno, Hendar Putranto (ed), Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas, Kanisius, 2004.
[21] Untuk memberikan gambaran dan deskripsi tentang pernyataan ini lihat sebuah essay yang tajam dan menggugah, Degung Santikarma, Kisah Bali dengan Keakraban dalam Kekerasan, Bentara Kompas,
[22] Kita bisa belajar dari memor para tahanan politik dari Peristiwa 1965. Terutama adalah karya-karya dari Pramodya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, dua jilid, Lentera 1995-1997. Juga seorang Bali, Putu Oka Sukanta, sastrawan anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) Bali menuliskan memoarnya berjudul, Merajut Harkat, Pustaka Pelajar dan Jendela Budaya, 1999. Sebagian diantaranya adalah Hersri Setiawan, Aku Eks Tapol, Galang Press, 2003 dan Kamus Gestok, Galang Press, 2003. Sudjinah, Terempas Gelombang Pasang: Riwayat Wartawati dalam Penjara Orde Baru, Utan Kayu, 2003, Adam Soepardjan, Mendobrak Penjara Rezim Soeharto, 2004 adalah diantaranya.
[23] “Manusia-manusia merah” saya pergunakan untuk menunjukkan para korban pembantaian massal 1965-1966 yang “di-
[24] Komunikasi pribadi dengan Degung Santikarma via emai l April –September 2005, antropolog yang menekuni studi tentang kekerasan 1965 di Bali Pernyataan ini adalah sikapnya dalam melakukan studi dampak Peristiwa 1965 pada kehidupan politik kebudayaan Bali setelahnya. Sedang menyelesaikan bukunya tentang dampak kekerasan 1965 di
[25] Kutipan sebuah artikelnya yang melukiskan bagaimana sikap para “pelaku” yang masih bangga dan merasa tidak bersalah dengan tindakannya menjadi tukang jagal dalam pembantaian 1965-1966 di sebuah desa. “…Yang saya lakukan pada waktu ‘Gestok’ itu tidak banyak, hanya membantu aparat untuk membawa mereka yang dianggap partisan partai yang bergambar “palu arit,” Pak Wayan mengatakan. “Daftar nama mereka yang dianggap terlibat sudah ada pada map yang dibawa oleh oknum berseragam. Jadi, saya hanya menunjukkan rumah pribadi para simpatisan. Ini enteng karena mereka kebetulan para tetangga dan teman sepermainan. Begitu saya temukan, saya antar langsung ke kantor camat, hanya itu saja, tidak lebih dan tidak kurang.” Pak Wayan bicara dengan tegas, tetapi badannya seperti mengkhianati apa yang terucap. Tangannya gemetar, tubuhnya berkeringat dan betisnya, tanpa sadar, menabrak kaki meja sampai cangkir kopi tertumpah…” Lebih lengkap lihat Degung Santikarma, Kehilangan Rekonsiliasi, Kompas 28 September 2003.
[26] Sebuah artikel menarik tentang kiprah Sarwo Edhi Wibowo dalam penghancuran
[27] “Di Jawa kami harus menghasut penduduk untuk membantai orang-orang komunis. Di Bali kami harus menahan mereka, untuk memastikan bahwa mereka tidak bertindak terlalu jauh” Pernyataan pers Sarwho Edhi Wibowo saat datang pada akhir Desember 1965 di Bali untuk menertibkan pembantaian. John Hughes, Indonesian Upheaval (New York: Mckay, 1967) via Robert Cribb (ed), The Indonesia Killings, Pembantaian
[29] Diambil dari sebuah buku yang inspiratif, jujur dan tajam tentang pergulatan seorang perempuan
[31] Seperti diungkapkan Degung Santikarma, Kisah Bali dengan Keakraban dalam Kekerasan, Kompas,
[32] Degung Santikarma, op.cit.
[33] Urvashi Butalia, op.cit, hal. 11.
[34] Adalah ungkapan yang pertama saya dengar saat awal-awal demonstrasi mahasiswa 1997-1998, saat saya menginjakkan kaki di bangku perguruan tinggi. Pernyataan ini diucapan seorang ibu yang heran melihat anaknya ikut demontrasi “Aksi Keprihatian Rakyat dan Mahasiswa ” di kampus Universitas Udayana, Bali akhir 1997.
[35]Henk Schulte Nordholt, Speel Of Power, 1996 via Henk Schulte Nordholt, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia, 2002 hal. 6
[36] Catatan Soe Hok Gie tentang pembantaian besar-besaran di Bali, lihat Zaman Peralihan, Bentang, Februari 1995. Satu essaynya menjelaskan itu semua, Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali (161-169).
[37] Komunikasi pribadi via email dengan Degung Santikarma, Mei 2005.
[38] Komunikasi pribadi, Juni 2005.
[39] Lebih lengkap tentang deskripsi politiik ritual kekerasan di Bali lihat I Ngurah Suryawan, BALI, Narasi dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali), Ombak, 2005.
[40] Rezim ketakutan diungkapkan Henk Schulte Nordholt, Asal-Usul Kekerasan, Jurnal Wacana, edisi IX/2002. Juga terdapat satu essay penting dalam jurnal ini dari Roy Tjiong, Budaya Kekerasan vs Harmoni, Studi Kasus Pembantaian Pasca GESTAPU di Bali.
[41] Clifford Geertz, Hayat dan Karya, Antropolog sebagai Penulis dan Pengarang, LKiS, 2002.
[43] Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatit, Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data, Puskala Pelajar, 2003.
[45] Urvashi Butalia, Sisi Balik Senyap, The Other Side of Silence,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar